NEW YORK, KOMPAS.com – Presiden Suriah Ahmed Al Sharaa tiba di New York, AS pada Minggu (21/9/2025) untuk menghadiri sidang ke-80 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Kehadiran ini menandai kunjungan pertama seorang kepala negara Suriah ke forum tersebut dalam hampir enam dekade.
Pemimpin Suriah terakhir yang hadir di Sidang Umum PBB adalah Nureddin Al Atassi pada 1967.
Baca juga: Presiden Suriah Ahmed Al Sharaa Menuju AS, Siap Berpidato di Sidang Umum PBB
Setelah itu, keluarga Al Assad memegang kekuasaan hingga digulingkan oleh Al Sharaa pada Desember 2024.
Media pemerintah Suriah menggambarkan kunjungan ini sebagai “perjalanan bersejarah” yang juga menjadi simbol penting upaya normalisasi hubungan internasional pemerintahan baru di Damaskus, sebagaimana diberitakan Al Jazeera pada Senin (22/9/2025).
Al Sharaa, yang sebelumnya menghabiskan lebih dari satu dekade sebagai pemimpin pemberontak di utara Suriah, merebut kekuasaan melalui serangan kilat. Kini ia berupaya memperkuat posisi politiknya di dalam negeri dan luar negeri.
Pada Mei lalu, Al Sharaa sempat bertemu Presiden Amerika Serikat Donald Trump dalam pertemuan puncak Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) bersama Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman.
Itu merupakan pertemuan pertama antara presiden Suriah dan presiden AS dalam 25 tahun terakhir.
Dalam kesempatan itu, Trump berjanji mencabut sanksi terhadap Suriah, langkah yang kemudian benar-benar ia wujudkan. Washington bahkan menyatakan tengah menjajaki normalisasi hubungan dengan Damaskus.
Baca juga: Kekerasan Sektarian di Suriah Tewaskan Hampir 2.000 Orang
Meski demikian, pemerintahan Al Sharaa masih menghadapi tantangan berat. Pertikaian internal pecah di wilayah selatan Suwayda pada Juni lalu.
Suriah juga berulang kali menghadapi serangan militer Israel, meskipun kedua negara sudah pernah melakukan perundingan.
Damaskus menuduh Israel melanggar Perjanjian Pelepasan 1974, yang ditandatangani setelah perang 1973. Menurut pemerintah Suriah, Israel membangun fasilitas intelijen dan pos militer di zona demiliterisasi untuk memperluas pengaruhnya.
Dalam wawancara dengan program Face the Nation di CBS, Al Sharaa menyebut keputusan Trump mencabut sanksi sebagai langkah besar dan bersejarah.
“Beliau menyadari bahwa Suriah harus aman, stabil, dan bersatu. Ini adalah kepentingan terbesar semua negara di dunia, bukan hanya Suriah,” kata Al Sharaa.
Ia juga menyatakan harapannya bisa kembali bertemu Trump selama kunjungannya ke AS. “Kita perlu membahas banyak isu dan kepentingan bersama antara Suriah dan AS. Kita harus memulihkan hubungan dengan cara yang baik dan langsung,” ujarnya.
Baca juga: Israel Serang Suriah Selatan, 4 Orang Tewas Termasuk Warga Sipil
Pada akhir Juni 2025, Trump menandatangani perintah eksekutif yang mengakhiri sebagian besar sanksi tersisa terhadap Suriah. Kebijakan itu disambut positif di Damaskus sebagai peluang membuka kembali aliran dana rekonstruksi dan pembangunan.
Setibanya di AS, Al Sharaa bertemu dengan komunitas diaspora Suriah. Pada saat yang sama, Menteri Luar Negeri Suriah Asaad Al Shaibani juga mengibarkan bendera baru negara itu di atas gedung Kedutaan Besar Suriah di Washington.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini