Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ambisi Tanah Jarang China Cemari Sungai Asia Tenggara

Penulis: David Hutt/DW Indonesia

KOMPAS.com - Para ahli ekologi memperingatkan, beberapa negara Asia Tenggara terancam menghadapi bencana ekologis, kecuali dilakukan tindakan segera untuk meredam booming penambangan logam tanah jarang di Myanmar.

Global Witness, sebuah organisasi pengawas lingkungan dan pelanggaran HAM yang berbasis di London melaporkan, Myanmar memiliki sumber terbesar di dunia unsur mineral tanah jarang berat. 

Mineral ini penting untuk pembuatan produk teknologi tinggi seperti turbin angin, mobil listrik, serta alat-alat medis.

Sebagian besar tambang ini terletak di negara bagian Shan, lokasi perang saudara berkecamuk sejak kudeta militer terjadi di Myanmar pada 2021.

Sementara itu, Departemen Pengendalian Pencemaran Thailand awal tahun ini menemukan kadar arsenik hampir empat kali lebih tinggi dari batas yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di beberapa bagian Sungai Kok, anak sungai Mekong yang mengalir dari Myanmar ke Thailand. 

Logam beracun lainnya juga terdeteksi pada tingkat yang membahayakan.

Sungai Kok mengalir melewati provinsi Chiang Rai di Thailand utara sebelum bermuara ke Mekong, di mana konsentrasi arsenik juga dilaporkan telah terdeteksi.

Mekong adalah sungai terpanjang di Asia Tenggara, yang menjadi sumber kehidupan bagi jutaan orang. 

Para ahli khawatir sistem irigasi yang mengairi hamparan luas lahan pertanian dan pasokan air minum di wilayah tersebut turut terkontaminasi. 

WHO telah melaporkan bahwa paparan jangka panjang terhadap arsenik dan logam lainnya dapat menyebabkan kanker, gangguan saraf, dan kegagalan organ tubuh.

"Apa yang kita lihat sekarang hanyalah permulaan," kata Pianporn Deetes, direktur kampanye International Rivers, sebuah LSM konservasi pada DW.

"Jika tidak dikendalikan, situasinya bisa memburuk dengan cepat. Kemungkinan ada ratusan tambang ilegal di kawasan hulu, dan air yang terkontaminasi berat menyebar melalui Sungai Mekong dan anak-anak sungainya, dan pada akhirnya menyebabkan pengasaman air yang terjadi hingga ke laut," kata Deetes.

Di luar kendali Bangkok?

Setelah petisi dari komunitas setempat di bulan Juni, otoritas Thailand mengusulkan pembangunan penghalang sedimen bawah air atau bendungan mini di Sungai Kok untuk menjebak endapan beracun agar tidak mencapai desa-desa.

Namun, kelompok lingkungan mengatakan, infrastruktur semacam itu akan memakan waktu bertahun-tahun untuk dapat diselesaikan, sementara krisis sudah di depan mata.

Bangkok tidak punya banyak pilihan. Masalahnya bersumber dari sebagian besar wilayah di Myanmar, khususnya di negara bagian Shan, di mana tambang-tambang baru di wilayah tersebut berada di bawah kendali United Wa State Army (UWSA), sebuah kelompok bersenjata yang mengelola dua wilayah otonomi khusus di Myanmar. UWSA didukung oleh China.

Reuters melaporkan, UWSA memberikan perlindungan bersenjata untuk operasi pertambangan yang dijalankan oleh perusahaan China di sana. 

Baik penguasa militer Myanmar maupun organisasi internasional tidak memiliki kendali atas wilayah tersebut.

Sejauh ini masih belum diketahui apakah pencemaran tersebut masih terkonsentrasi di Thailand utara atau sudah meluas ke negara-negara hilir Sungai Mekong.

"Sangat mungkin, cemaran bahan kimia beracun dan logam berat terdeteksi di Kamboja," ujar Brian Eyler, direktur Program Asia Tenggara di Stimson Center, kepada DW. 

Eyler menambahkan, 60 persen asupan protein di Kamboja berasal dari tangkapan ikan liar di Sungai Mekong.

Dalam beberapa minggu terakhir, kelompok masyarakat sipil menyerukan tindakan lebih tegas dari Komisi Sungai Mekong (MRC), sebuah badan antar-pemerintah yang dibentuk Kamboja, Laos, Thailand, dan Vietnam pada tahun 1990-an untuk bersama-sama mengelola sungai Mekong.

"MRC harus segera membangun stasiun pemantauan logam berat, dan memastikan komunitas di seluruh daerah yang dilewati aliran sungai memiliki akses atas informasi yang akurat dan transparan," desak Pianporn.

Sejauh ini MRC meremehkan seruan tersebut. Pada bulan Juli, lembaga itu melaporkan kadar arsenik di empat dari lima lokasi pengambilan sampel di Thailand dan Laos di atas batas aman. 

Namun, MRC hanya menggambarkan situasinya sebagai masalah lingkungan lintas batas yang cukup serius.

Para analis sepakat, tanggung jawab akhir terletak di pundak Beijing, yang menguasai sekitar 60 persen produksi logam tanah jarang global serta hampir 90 persen proses pemurniannya.

Sekitar tahun 2010 China melarang banyak bentuk penambangan tanah jarang di dalam negeri, karena kekhawatiran terhadap kerusakan lingkungan. 

Namun, hal ini justru mendorong makin banyak perusahaan China untuk berpindah ke selatan, dan mengoperasikan pertambangan di perbatasan Myanmar, khususnya di negara bagian Kachin dan Shan.

Pada tahun 2018, pemerintah sipil Myanmar melarang ekspor dan memerintahkan perusahaan tambang China menghentikan operasi. 

Namun sejak tahun 2021, ekstraksi terus berlanjut di tengah konflik sipil yang makin meluas di sana.

"Beijing harus menjamin bahwa semua impor logam tanah jarang hanya berasal dari tambang yang mematuhi hukum dan standar lingkungan China," kata Pianporn kepada DW. 

"Jika China serius ingin memimpin dalam hal peradaban ekologis, maka mereka harus bertindak secara akuntabel dan transparan," tambahnya. 

Namun, jika Beijing merespon dengan keras maka itu akan bertentangan dengan kepentingan nasional mereka di tengah persaingan ketat geopolitis menguasai logam tanah jarang ini.

Asisten Profesor Dulyapak Preecharatch dan dosen Studi Asia Tenggara di Universitas Thammasat mengatakan, dalam mempraktikkan kebijakan luar negerinya di wilayah seperti Asia Tenggara, China selalu menekankan prinsip kedaulatan negara dalam hubungan bilateralnya.

Dalam prinsip tersebut, mereka tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain, termasuk peraturan lingkungannya.

Dengan demikian, Beijing bisa mengatakan, mereka tidak ikut campur dalam penambangan tanah jarang di Myanmar, karena pengawasan terhadap kerusakan lingkungan adalah kedaulatan Myanmar.

San China tidak perlu mempertimbangkan masalah yang dihadapi negara-negara hilir lainnya, jelas Preecharatch kepada DW.

Demam tanah jarang tidak hanya terjadi di Myanmar. Setidaknya ada 15 tambang teridentifikasi di sepanjang anak sungai Mekong di Laos. 

Kamboja saat ini belum memiliki tambang tanah jarang berskala besar yang aktif, tetapi eksplorasi sedang berlangsung.

Para ahli ingkungan khawatir akan adanya reaksi berantai pencemaran di kawasan sungai Mekong.

"Situasi ini kemungkinan besar akan semakin memburuk," ujar Eyler dari Stimson Center kepada DW.

"Ada kemungkinan seluruh populasi ikan di sungai tercemar, dan kawasan lahan basah di sepanjang aliran sungai yang merupakan zona produksi pertanian untuk dunia, tidak dapat digunakan untuk waktu yang lama," tambahnya.

Untuk saat ini, Mekong masih dianggap sebagai salah satu sungai besar yang masih relatif bersih di dunia jika dibandingkan dengan sungai Gangga di India atau Yangtse di China. Namun para ahli khawatir, reputasi itu akan segera hilang.

Artikel ini pernah tayang di DW Indonesia dengan judul: Ambisi Logam Tanah Jarang China Cemari Sungai Mekong.

https://www.kompas.com/global/read/2025/09/19/130600270/ambisi-tanah-jarang-china-cemari-sungai-asia-tenggara

Terkini Lainnya

Simpan 4 Jasad Bayinya di Rumah Kontrakan, Ibu AS Ditangkap Polisi
Simpan 4 Jasad Bayinya di Rumah Kontrakan, Ibu AS Ditangkap Polisi
Global
Ketika Padel Redup di Swedia, tapi Malah Meledak di Indonesia...
Ketika Padel Redup di Swedia, tapi Malah Meledak di Indonesia...
Global
Dimotori Gen Z, Berikut 5 Fakta Demo di Peru
Dimotori Gen Z, Berikut 5 Fakta Demo di Peru
Global
Trump Akan Temui Pemimpin Negara Mayoritas Muslim di Forum PBB Bahas Pascaperang di Gaza
Trump Akan Temui Pemimpin Negara Mayoritas Muslim di Forum PBB Bahas Pascaperang di Gaza
Global
Usai Akui Palestina, Negara Barat Tawarkan Bantuan untuk Pasien Gaza
Usai Akui Palestina, Negara Barat Tawarkan Bantuan untuk Pasien Gaza
Global
Mikrofon Prabowo Tiba-tiba Mati Saat Pidato di Sidang PBB, Kemlu RI Beri Klarifikasi
Mikrofon Prabowo Tiba-tiba Mati Saat Pidato di Sidang PBB, Kemlu RI Beri Klarifikasi
Global
Trump Siap Berpidato di Sidang Umum PBB, Dunia Soroti 'America First'
Trump Siap Berpidato di Sidang Umum PBB, Dunia Soroti "America First"
Global
Erdogan Ingin Beli Ratusan Boeing dan Jet Tempur AS, tapi Minta Komponen Diproduksi di Turkiye
Erdogan Ingin Beli Ratusan Boeing dan Jet Tempur AS, tapi Minta Komponen Diproduksi di Turkiye
Global
Pemerintah Italia Belum Akui Palestina, Puluhan Ribu Rakyat Demo
Pemerintah Italia Belum Akui Palestina, Puluhan Ribu Rakyat Demo
Global
Negara Dekat RI Diterjang Topan Dahsyat Ragasa, Ancaman Menjalar hingga ke China
Negara Dekat RI Diterjang Topan Dahsyat Ragasa, Ancaman Menjalar hingga ke China
Global
Bagaimana Masa Depan Palestina Usai Diakui Jadi Sebuah Negara?
Bagaimana Masa Depan Palestina Usai Diakui Jadi Sebuah Negara?
Global
Eks Presiden Filipina Duterte Didakwa atas Kejahatan Kemanusiaan dalam Perang Narkoba
Eks Presiden Filipina Duterte Didakwa atas Kejahatan Kemanusiaan dalam Perang Narkoba
Global
Inovasi Jepang: Kucing Jadi Kepala Stasiun, AI Jadi Pemimpin Parpol
Inovasi Jepang: Kucing Jadi Kepala Stasiun, AI Jadi Pemimpin Parpol
Global
Ini Negara yang Mengakui Palestina dan yang Masih Menolak
Ini Negara yang Mengakui Palestina dan yang Masih Menolak
Global
Skandal Eks Ibu Negara Korsel Kim Keon Hee Seret Pimpinan Gereja Unifikasi
Skandal Eks Ibu Negara Korsel Kim Keon Hee Seret Pimpinan Gereja Unifikasi
Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke