Bangkok tidak punya banyak pilihan. Masalahnya bersumber dari sebagian besar wilayah di Myanmar, khususnya di negara bagian Shan, di mana tambang-tambang baru di wilayah tersebut berada di bawah kendali United Wa State Army (UWSA), sebuah kelompok bersenjata yang mengelola dua wilayah otonomi khusus di Myanmar. UWSA didukung oleh China.
Reuters melaporkan, UWSA memberikan perlindungan bersenjata untuk operasi pertambangan yang dijalankan oleh perusahaan China di sana.
Baca juga: Menkeu AS Kunjungi Ukraina, Bahas Isu Energi dan Mineral Tanah Jarang
Baik penguasa militer Myanmar maupun organisasi internasional tidak memiliki kendali atas wilayah tersebut.
Sejauh ini masih belum diketahui apakah pencemaran tersebut masih terkonsentrasi di Thailand utara atau sudah meluas ke negara-negara hilir Sungai Mekong.
"Sangat mungkin, cemaran bahan kimia beracun dan logam berat terdeteksi di Kamboja," ujar Brian Eyler, direktur Program Asia Tenggara di Stimson Center, kepada DW.
Eyler menambahkan, 60 persen asupan protein di Kamboja berasal dari tangkapan ikan liar di Sungai Mekong.
Baca juga: Zelensky dan Trump Bahas Kesepakatan Logam Tanah Jarang
Dalam beberapa minggu terakhir, kelompok masyarakat sipil menyerukan tindakan lebih tegas dari Komisi Sungai Mekong (MRC), sebuah badan antar-pemerintah yang dibentuk Kamboja, Laos, Thailand, dan Vietnam pada tahun 1990-an untuk bersama-sama mengelola sungai Mekong.
"MRC harus segera membangun stasiun pemantauan logam berat, dan memastikan komunitas di seluruh daerah yang dilewati aliran sungai memiliki akses atas informasi yang akurat dan transparan," desak Pianporn.
Sejauh ini MRC meremehkan seruan tersebut. Pada bulan Juli, lembaga itu melaporkan kadar arsenik di empat dari lima lokasi pengambilan sampel di Thailand dan Laos di atas batas aman.
Namun, MRC hanya menggambarkan situasinya sebagai masalah lingkungan lintas batas yang cukup serius.
Baca juga: Kanselir Jerman Kecam Permintaan Trump Beli Tanah Jarang di Ukraina
Para analis sepakat, tanggung jawab akhir terletak di pundak Beijing, yang menguasai sekitar 60 persen produksi logam tanah jarang global serta hampir 90 persen proses pemurniannya.
Sekitar tahun 2010 China melarang banyak bentuk penambangan tanah jarang di dalam negeri, karena kekhawatiran terhadap kerusakan lingkungan.
Namun, hal ini justru mendorong makin banyak perusahaan China untuk berpindah ke selatan, dan mengoperasikan pertambangan di perbatasan Myanmar, khususnya di negara bagian Kachin dan Shan.
Pada tahun 2018, pemerintah sipil Myanmar melarang ekspor dan memerintahkan perusahaan tambang China menghentikan operasi.
Namun sejak tahun 2021, ekstraksi terus berlanjut di tengah konflik sipil yang makin meluas di sana.
Baca juga: Kenapa Trump Menginginkan Logam Tanah Jarang Ukraina?