KOMPAS.com - Palestina kerap digambarkan sebagai negara yang ada sekaligus tidak ada.
Di satu sisi, Palestina telah memperoleh pengakuan internasional yang luas, memiliki misi diplomatik di berbagai negara, bahkan berpartisipasi dalam ajang olahraga dunia, termasuk Olimpiade.
Namun, di sisi lain, Palestina tidak memiliki batas wilayah yang disepakati secara internasional, tidak memiliki ibu kota yang resmi, dan tidak memiliki tentara.
Baca juga: Duka Warga Israel Berujung Seruan Pengakuan Negara Palestina di Sidang Umum PBB
Akibat pendudukan militer Israel di Tepi Barat, Otoritas Palestina yang dibentuk setelah perjanjian damai pada 1990-an tidak sepenuhnya mengendalikan tanah maupun rakyatnya.
Gaza, yang juga berada di bawah pendudukan Israel, kini terjebak dalam perang berkepanjangan.
Status Palestina yang serba terbatas membuat pengakuan negara terhadapnya lebih bersifat simbolis.
Secara nyata, pengakuan tersebut tidak banyak mengubah situasi di lapangan. Namun, makna simbolisnya dinilai sangat kuat, baik secara moral maupun politik.
Hal ini ditegaskan oleh mantan Menteri Luar Negeri Inggris, David Lammy, dalam pidatonya di PBB pada Juli 2025.
"Inggris memikul beban tanggung jawab khusus untuk mendukung solusi dua negara," kata Lammy, dikutip dari BBC pada Jumat (19/9/2025).
Ia juga mengingatkan kembali pada Deklarasi Balfour 1917 yang ditandatangani Arthur Balfour, menteri luar negeri Inggris saat itu.
Deklarasi itu menyatakan dukungan terhadap pembentukan tanah air bagi orang-orang Yahudi di Palestina, dengan janji bahwa hak-hak sipil dan agama komunitas non-Yahudi tidak akan dirugikan.
Baca juga: Israel Gempur Gaza, 34 Warga Tewas Jelang Pengakuan Negara Palestina
Meski begitu, para pendukung Israel sering menekankan bahwa Deklarasi Balfour tidak menyebut secara eksplisit hak-hak nasional bangsa Palestina.
Sejak Inggris mengakhiri mandatnya atas wilayah Palestina pada 1948, Israel resmi berdiri sebagai negara.
Namun, upaya untuk membentuk negara Palestina yang berdampingan dengan Israel tidak pernah berhasil.
Frasa “solusi dua negara” merujuk pada pembentukan negara Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya, sesuai dengan kondisi sebelum perang Arab-Israel 1967.