Abbas, bahkan, hanya bisa memberikan pernyataan melalui video pada sidang umum PBB.
Selain itu, Trump tampaknya masih terpaku pada versi "Rencana Riviera" yang memuat tujuan AS mengambil "posisi kepemilikan jangka panjang" atas Gaza.
Namun, jika pengakuan simbolis ini berdampak, bagaimana kelanjutannya?
Konvensi Montevideo 1933 menetapkan empat kriteria untuk sebuah negara. Berikut kriterianya:
Mengenai wilayah, ada tiga bagian area yang didambakan warga Palestina sebagai suatu negara, yaitu: Yerusalem Timur, Tepi Barat, dan Jalur Gaza.
Sayangnya, ketiga wilayah ini diduduki oleh Israel sejak Perang Enam Hari 1967.
Sekilas melihat peta, terlihat awal masalahnya. Tepi Barat dan Jalur Gaza telah terpisah secara geografis oleh Israel selama tiga perempat abad atau tepatnya sejak kemerdekaan Israel pada tahun 1948.
Memasuki 1967 dengan serangan yang dilancarkan Israel, perluasan permukiman telah menggerogoti Tepi Barat hingga memecahnya menjadi entitas politik dan ekonomi.
Situasi ini terus berlanjut. Kehadiran militer Israel dan permukiman Yahudi membuat Otoritas Palestina (PA), yang dibentuk setelah Kesepakatan Damai Oslo pada 1990-an, hanya menguasai sekitar 40 persen wilayah.
Sementara itu, Yerusalem Timur, yang dianggap Palestina sebagai ibu kota mereka, kini dikelilingi permukiman Yahudi yang secara bertahap memutus kota tersebut dari Tepi Barat.
Nasib Gaza, tentu saja, jauh lebih buruk. Setelah hampir dua tahun perang yang dipicu oleh serangan Hamas pada Oktober 2023, sebagian besar wilayahnya telah hancur.
Selain wilayah yang sudah tercerai berai dan porak poranda, Palestina harus berhadapan dengan persoalan kepemimpinan.
Untuk menjawab problem kepemimpinan baru ini, perlu dirunut lagi sejarah yang melingkupi Palestina.
Pada 1994, kesepakatan antara Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) mengarah pada pembentukan Otoritas Nasional Palestina (PA).
Otoritas ini memiliki kendali sipil parsial atas warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat.
Namun, sejak konflik berdarah pada 2007 antara Hamas dan faksi utama PLO, Fatah, warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat diperintah oleh dua pemerintahan yang bersaing.
Hamas di Gaza dan Otoritas Palestina di Tepi Barat, yang diakui secara internasional, dengan presidennya Mahmoud Abbas.
Perpecahan politik ini terus berlangsung selama 18 tahun, ditambah 77 tahun pemisahan geografis, membuat Tepi Barat dan Jalur Gaza semakin terpisah.
Politik Palestina kian mengkristal dan membuat sebagian besar warga Palestina sinis terhadap pemimpin mereka. Bahkan mereka sulit percaya akan adanya rekonsiliasi internal, apalagi menjadi sebuah negara yang utuh.
Adapun pemilihan presiden dan parlemen terakhir diadakan pada 2006. Dengan kata lain, tidak ada warga Palestina di bawah usia 36 tahun yang pernah memberikan suara di Tepi Barat atau Gaza.
"Sangat tidak masuk akal bahwa kami tidak mengadakan pemilihan selama ini," kata pengacara Palestina Diana Buttu.
"Kami butuh kepemimpinan baru."
Baca juga: Di KTT PBB, Prabowo: Pengakuan Palestina Menyangkut Kredibilitas Dunia Internasional
Di tengah serangan bertubi-tubi di Gaza sejak Oktober 2023, masalah ini menjadi semakin mendesak.
Di hadapan kematian puluhan ribu warganya, Otoritas Palestina yang dipimpin Abbas, yang bermarkas di Tepi Barat, hanya seolah menjadi penonton yang tak berdaya.
Mundur beberapa dekade silam, Ketua Otoritas Nasional Palestina, Yasser Arafat, kembali dari pengasingan bertahun-tahun. Para politisi Palestina lokal pun mulai merasa terpinggirkan.
"Orang dalam" mulai merasa kesal dengan gaya kepemimpinan yang dominan dari "orang luar" Arafat. Isu korupsi di lingkaran Arafat juga berdampak pada reputasi Otoritas Palestina.
Di sisi lain, Otoritas Palestina juga seperti tidak mampu menghentikan kolonisasi bertahap Israel di Tepi Barat. Dengan demikian, janji kemerdekaan dan kedaulatan pun urung ditepati.
Padahal pada September 1993, terjadi jabat tangan bersejarah Arafat dengan mantan Perdana Menteri Israel, Yizhak Rabin, di halaman Gedung Putih yang melambungkan harapan merdeka dan berhentinya penjajahan di tanah Palestina.
Memasuki tahun-tahun selanjutnya, politik di Palestina kian tidak kondusif karena inisiatif perdamaian yang gagal, perluasan terus-menerus pemukiman Yahudi, kekerasan oleh ekstremis dari kedua belah pihak, pergeseran politik Israel ke kanan, dan perpecahan kekerasan pada 2007 antara Hamas dan Fatah.
"Dalam keadaan normal, tokoh-tokoh baru dan generasi baru seharusnya muncul," kata sejarawan Palestina Yezid Sayigh.