KOMPAS.com -Â Gelombang unjuk rasa di berbagai daerah dalam sepekan terakhir diikuti dengan pecahnya kerusuhan dan penjarahan rumah anggota DPR RI serta pejabat negara.
Aksi bermula ketika berbagai kelompok masyarakat memprotes kenaikan tunjangan anggota DPR RI di Jakarta pada 25 Agustus 2025.
Demonstrasi kemudian berlanjut hingga beberapa hari, dan sempat diwarnai kericuhan serta menimbulkan korban.Â
Saat demonstrasi berlangsung, muncul isu penjarahan di beberapa wilayah oleh kelompok tidak dikenal.
Beberapa rumah milik anggota DPR RI seperti Ahmad Sahroni, Eko Patrio, dan Uya Kuya dijarah. Rumah milik Menteri Keuangan, Sri Mulyani juga tak luput menjadi target sasaran.
Mengingatkan akan 1998
Kasus-kasus yang terjadi baru-baru ini mengingatkan pada rangkaian kerusuhan yang terjadi menjelang runtuhnya Orde Baru pada Mei 1998.
Dalam laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kerusuhan 13-15 Mei 1998, disebutkan bahwa kerusuhan yang terjadi pada waktu itu dilakukan secara terorganisasi.
Menurut TGPF, peristiwa kerusuhan I3-I5 Mei 1998 adalah terjadinya persilangan ganda antara proses pergumulan elite politik yang bertalian dengan masalah kelangsungan kekuasaan kepemimpinan nasional dan proses pemburukan moneter yang cepat.
Dari temuan lapangan, banyak pihak yang berperan di semua tingkat, baik sebagai massa aktif maupun provokator untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun kelompok atau golongan, atas terjadinya kerusuhan.
TGPF menyebutkan, kerusuhan mempunyai pola umum yang dimulai dengan berkumpulnya massa pasif yang terdiri massa lokal dan massa pendatang tidak dikenal.
Kemudian, muncul sekelompok provokator yang memancing massa dengan berbagai modus tindakan.
Mereka melakukan provokasi seperti membakar ban atau memancing perkelahian, meneriakkan yel-yel yang memanaskan situasi, dan merusak rambu-rambu lalu lintas.
Setelah itu, provokator mendorong massa untuk mulai melakukan pengrusakan barang dan bangunan, disusul dengan tindakan menjarah barang dan di beberapa tempat diakhiri dengan membakar gedung atau barang-barang lain.
Di beberapa lokasi ditemukan juga variasi, di mana kelompok provokator secara langsung melakukan pengrusakan, baru kemudian mengajak massa untuk ikut merusak lebih lanjut.
Provokator umumnya bukan dari wilayah setempat, secara fisik tampak terlatih, sebagian memakai seragam sekolah seadanya, tidak ikut menjarah, dan segera meninggalkan lokasi setelah gedung atau barang terbakar.
Para provokator ini juga yang membawa sejumlah barang untuk keperluan merusak, seperti jenis logam pendongkel, bahan bakar cair, kendaraan bom molotov, dan sebagainya.
Provokator bergerak dalam kelompok kecil, lebih kurang belasan orang, mempunyai kemampuan atau terbiasa menggunakan alat kekerasan.
Mereka bergerak dengan mobilitas tinggi menggunakan sarana transportasi (sepeda motor mobil/jeep), serta dilengkapi dengan sarana komunikasi (HT/ponsel).
Pada umumnya kelompok ini sulit dikenali, walau pun di beberapa kasus dilakukan oleh kelompok dari organisasi pemuda, dan anggota aparat keamanan.
Pola kerusuhan di daerah
Di Jakarta, kerusuhan dimulai dengan tahap persiapan, meliputi aktivitas memancing reaksi dengan cara membakar material tertentu (ban, kayu, tong sampah, barang bekas)Â
Pada tahap ini provokator juga memicu terjadinya perkelahian antar kelompok/pelajar, dan memanaskan situasi massa dengan meneriakkan yel-yel tertentu.
Kemudian, tahap perusakan meliputi aktivitas seperti melempar batu, botol, mendobrak pintu, memecahkan kaca, membongkar sarana umum dengan alat yang sudah disiapkan.
Selanjutnya, tahap penjarahan meliputi seluruh aktivitas untuk mengambil barang atau benda-benda lain dalam gedung yang telah dirusak.
Terakhir, tahap pembakaran yang merupakan puncak kerusuhan yang memberikan dampak korban dan kerugian yang paling besar.
Di Solo, TGPF menemukan fakta yang mengindikasikan keterlibaitan para preman termasuk organisasi pemuda setempat, juga dari kelompok yang berbaju loreng dan baret merah sebagaimana yang digunakan satuan Kopassus, dalam mengondisikan terjadinya kerusuhan.
Kasus-kasus Solo mengindikasikan keterkaitan antara kekerasan massa di tingkat bawah dengan pertarungan elite di tingkat atas.
Penumpangan kasus Solo melalui provokator lokal dipermudah oleh kenyataan bahwa aksi-aksi mahasiswa Solo sebelum kerusuhan sudah menimbulkan bentrokan dan korban fisik, bahkan pada masa-masa sebelum mahasiswa di kota lain berdemontrasi.
Kemudian, Surabaya dan Lampung dapat dikelompokkan menjadi satu kategori karena beberapa ciri yang serupa.
Di kedua kota ini, kerusuhan relatif berlangsung cepat dan segera dapat diatasi, skalanya relatif kecil dengan korban dan kerugian yang tidak begitu parah.
Sekalipun pada kasus kedua kota ini juga didapati "penumpang gelap" (free rider) dan provokator lokal, tetapi keduanya menunjukkan lebih menonjolnya sifat lokal, sporadis, terbatas dan spontan.
Sementara itu, kasus Palembang lebih tidak bersifat spontan dibanding Surabaya dan Lampung.Â
Para "penumpang gelap" atau provokator lokal lebih berperan dan mengarah pada kerusuhan terencana dan terorganisir dalam skala yang lebih besar.
Sedangkan untuk kasus Medan, unsur-unsur penggerak lokal dengan ciri preman kota lebih menonjol lagi.Â
Adapun kerusuhan di Medan merupakan titik awal rangkaian munculnya kerusuhan secara nasional pada 13-15 Mei 1998.Â
https://www.kompas.com/cekfakta/read/2025/09/02/105000582/belajar-dari-mei-1998-kenali-pola-provokator-memantik-kerusuhan