Di beberapa lokasi ditemukan juga variasi, di mana kelompok provokator secara langsung melakukan pengrusakan, baru kemudian mengajak massa untuk ikut merusak lebih lanjut.
Provokator umumnya bukan dari wilayah setempat, secara fisik tampak terlatih, sebagian memakai seragam sekolah seadanya, tidak ikut menjarah, dan segera meninggalkan lokasi setelah gedung atau barang terbakar.
Para provokator ini juga yang membawa sejumlah barang untuk keperluan merusak, seperti jenis logam pendongkel, bahan bakar cair, kendaraan bom molotov, dan sebagainya.
Provokator bergerak dalam kelompok kecil, lebih kurang belasan orang, mempunyai kemampuan atau terbiasa menggunakan alat kekerasan.
Mereka bergerak dengan mobilitas tinggi menggunakan sarana transportasi (sepeda motor mobil/jeep), serta dilengkapi dengan sarana komunikasi (HT/ponsel).
Pada umumnya kelompok ini sulit dikenali, walau pun di beberapa kasus dilakukan oleh kelompok dari organisasi pemuda, dan anggota aparat keamanan.
Di Jakarta, kerusuhan dimulai dengan tahap persiapan, meliputi aktivitas memancing reaksi dengan cara membakar material tertentu (ban, kayu, tong sampah, barang bekas)Â
Pada tahap ini provokator juga memicu terjadinya perkelahian antar kelompok/pelajar, dan memanaskan situasi massa dengan meneriakkan yel-yel tertentu.
Kemudian, tahap perusakan meliputi aktivitas seperti melempar batu, botol, mendobrak pintu, memecahkan kaca, membongkar sarana umum dengan alat yang sudah disiapkan.
Selanjutnya, tahap penjarahan meliputi seluruh aktivitas untuk mengambil barang atau benda-benda lain dalam gedung yang telah dirusak.
Terakhir, tahap pembakaran yang merupakan puncak kerusuhan yang memberikan dampak korban dan kerugian yang paling besar.