Di Solo, TGPF menemukan fakta yang mengindikasikan keterlibaitan para preman termasuk organisasi pemuda setempat, juga dari kelompok yang berbaju loreng dan baret merah sebagaimana yang digunakan satuan Kopassus, dalam mengondisikan terjadinya kerusuhan.
Kasus-kasus Solo mengindikasikan keterkaitan antara kekerasan massa di tingkat bawah dengan pertarungan elite di tingkat atas.
Penumpangan kasus Solo melalui provokator lokal dipermudah oleh kenyataan bahwa aksi-aksi mahasiswa Solo sebelum kerusuhan sudah menimbulkan bentrokan dan korban fisik, bahkan pada masa-masa sebelum mahasiswa di kota lain berdemontrasi.
Kemudian, Surabaya dan Lampung dapat dikelompokkan menjadi satu kategori karena beberapa ciri yang serupa.
Di kedua kota ini, kerusuhan relatif berlangsung cepat dan segera dapat diatasi, skalanya relatif kecil dengan korban dan kerugian yang tidak begitu parah.
Sekalipun pada kasus kedua kota ini juga didapati "penumpang gelap" (free rider) dan provokator lokal, tetapi keduanya menunjukkan lebih menonjolnya sifat lokal, sporadis, terbatas dan spontan.
Sementara itu, kasus Palembang lebih tidak bersifat spontan dibanding Surabaya dan Lampung.Â
Para "penumpang gelap" atau provokator lokal lebih berperan dan mengarah pada kerusuhan terencana dan terorganisir dalam skala yang lebih besar.
Sedangkan untuk kasus Medan, unsur-unsur penggerak lokal dengan ciri preman kota lebih menonjol lagi.Â
Adapun kerusuhan di Medan merupakan titik awal rangkaian munculnya kerusuhan secara nasional pada 13-15 Mei 1998.Â
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini