KOMPAS.com – Pemasangan tiang listrik oleh PT PLN (Persero) kembali memunculkan polemik.
Di satu sisi, perusahaan berhak memanfaatkan lahan demi kepentingan publik sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
Di sisi lain, warga merasa hak mereka terabaikan ketika tanahnya dipakai tanpa izin yang jelas.
Baca juga: Warga Keluhkan Pindah Tiang Listrik Harus Bayar Rp 11 Juta, PLN Jelaskan Alasannya
Undang-undang memang memberikan kewenangan bagi PLN untuk menggunakan tanah yang melintas di atas atau di bawah permukaan demi penyediaan tenaga listrik.
Artinya, tiang listrik boleh berdiri di lahan warga atas nama kepentingan umum.
Namun, kenyataannya tidak selalu sederhana. Ada warga yang menolak karena khawatir potensi korsleting hingga terhalangnya akses.
Tak sedikit pula yang mengajukan pemindahan tiang listrik meski prosedurnya berbelit dan membutuhkan biaya.
Di Sidoarjo, Jawa Timur, seorang warga mengaku harus membayar hingga Rp 11 juta untuk memindahkan tiang di depan rumahnya.
Kasus serupa dialami Agung Wiidodo, warga Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Ia dikenakan biaya sekitar Rp 4,3 juta hanya untuk memindahkan tiang yang berdiri di pekarangan rumahnya.
Bagi banyak warga, keberadaan tiang listrik bukan hanya mengganggu aktivitas, tetapi juga dianggap berisiko menimbulkan korsleting.
Situasi ini memicu pertanyaan publik, mengapa pemilik lahan yang dipasang tiang listrik tidak mendapatkan kompensasi dan jbiaya pemindahan justru dibebankan kepada warga?
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Niti Emiliana, menilai PLN seharusnya tidak serta-merta memasang tiang tanpa persetujuan.
“Justru akan salah jika PLN tidak meminta izin kepada pemilik lahan,” kata Niti saat dihubungi Kompas.com, Senin (22/9/2025).
Ia menegaskan, pasal 30 UU Ketenagalistrikan menyebut pemilik tanah berhak atas kompensasi jika lahannya dipakai untuk kepentingan jaringan listrik.