TEL AVIV, KOMPAS.com – Maoz Inon kehilangan kedua orangtuanya dalam serangan Hamas ke Israel pada Oktober 2023. Namun, alih-alih menuntut balas, pria berusia 49 tahun itu memilih jalan rekonsiliasi.
Pengusaha pariwisata atau warga Israel yang telah aktif dalam gerakan perdamaian sejak dua dekade lalu itu kini menjadi salah satu suara lantang di Israel yang mendesak komunitas internasional untuk segera mengakui Negara Palestina.
“Dengan membalas dendam atas kematian, kita tidak akan menghidupkan mereka kembali. Kita hanya akan meningkatkan siklus kekerasan, pertumpahan darah, dan balas dendam yang telah menjebak kita, bukan sejak 7 Oktober, tetapi selama seabad,” kata Inon.
Baca juga: Israel Gempur Gaza, 34 Warga Tewas Jelang Pengakuan Negara Palestina
Ia mengaku tidak terkejut ketika serangan itu terjadi, setelah bertahun-tahun menyaksikan pendudukan dan penindasan.
“Saya tahu ini akan meledak di hadapan kami. Saya tidak, bahkan dalam mimpi terburuk saya, (berpikir) saya akan menanggung akibatnya,” ujarnya di Tel Aviv, dikutip dari AFP.
Inon kini menjadi figur penting dalam kampanye bertajuk “Tidak untuk Perang – Ya untuk Pengakuan”.
Petisi yang mereka galang sudah ditandatangani lebih dari 8.500 warga Israel, dan penyelenggara menargetkan 10.000 tanda tangan sebelum Sidang Umum PBB digelar pekan depan.
“Mengakui negara Palestina bukanlah hukuman bagi Israel, melainkan langkah menuju masa depan yang lebih aman dan lebih baik, berdasarkan pengakuan dan keamanan bersama bagi kedua bangsa,” bunyi pernyataan dalam petisi tersebut.
Gerakan ini dipimpin oleh organisasi akar rumput Israel, Zazim Community Action. Mereka memasang papan reklame di Tel Aviv dan membagikan ribuan poster sebagai bagian dari kampanye.
“Pada 8 Oktober 2023, sudah jelas bahwa doktrin pengelolaan konflik telah runtuh total, dan kita punya dua pilihan. Satu adalah penghancuran total dan pemusnahan pihak lain, atau solusi dua negara,” kata Raluca Ganea, salah satu pendiri gerakan.
Baca juga: Portugal Akui Palestina Besok, Jumlah Negara Pendukung Bertambah
Isu Palestina dipastikan akan mendominasi agenda Sidang Umum PBB, hampir dua tahun setelah serangan balasan militer Israel ke Gaza.
Pertemuan ini diperkirakan menjadi momentum pengakuan resmi Negara Palestina oleh sejumlah negara Barat, termasuk Perancis, Inggris, Belgia, Kanada, dan Australia.
Bagi Ganea, pengakuan ini penting untuk menghentikan dehumanisasi terhadap warga Palestina, khususnya mereka yang berada di Gaza.
Inon menekankan bahwa pengakuan internasional perlu diikuti langkah konkret di lapangan. “Setiap orang yang menentang solusi dua negara harus dihukum, harus diberi sanksi,” katanya.
Ia juga mendorong agar komunitas internasional memberikan insentif dan investasi guna membuktikan bahwa perdamaian akan menghasilkan “kemakmuran, stabilitas, keamanan, dan keselamatan”.
Baca juga: Masa Depan Gaza dan Palestina Jadi Sorotan di Pertemuan PBB