KOMPAS.com - Korban meninggal dunia akibat banjir ekstrem yang melanda Bali pada Rabu (10/9/2025) terus bertambah.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bali mencatat, per Jumat (12/9/2025) pukul 06.00 Wita, korban tewas akibat banjir mencapai 18 orang.
Kepala Pelaksana BPBD Bali, I Gede Agung Teja Bhusana Yadnya menyebutkan, korban tewas berasal dari Kota Denpasar, Kabupaten Gianyar, Kabupaten Jembrana, dan Kabupaten Badung.
"Total meninggal dunia 18 orang, dari Kota Denpasar 12, Kabupaten Gianyar tiga, Kabupaten Jembrana dua, dan Kabupaten Badung satu orang," kata Agung Teja, sebagaimana diberitakan Kompas.com, Jumat (12/9/2025).
Selain 18 korban tersebut, masih terdapat dua orang lainnya yang masuk daftar pencarian tim SAR gabungan. Proses evakuasi dan pencarian terus dilakukan oleh petugas di lapangan.
Dari rangkuman BPBD Bali, hingga hari ketiga sejak banjir besar melanda pada Rabu (10/9/2025) dini hari, sejumlah daerah di Bali mengalami dampak cukup parah.
Kota Denpasar menjadi wilayah dengan titik banjir terbanyak, yakni 81 titik.
Selain itu, banjir juga tercatat di Kabupaten Gianyar (15 titik), Badung (12 titik), Tabanan (28 titik), Jembrana (23 titik), dan Karangasem (4 titik).
Bencana hidrometeorologi lainnya juga dilaporkan, meliputi tanah longsor 64 titik, pohon tumbang 35 titik, jembatan putus dua titik, jalan rusak tiga titik, dan tembok jebol 21 titik.
Bencana ini juga menimbulkan kerugian material cukup besar. BPBD Bali memperkirakan, total kerugian akibat kerusakan 514 unit bangunan mencapai Rp28,9 miliar.
Peneliti iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Siswanto mengatakan, hujan lebat yang memicu banjir esktrem di Bali ini dipicu oleh Gelombang Ekuatorial Rossby.Â
Curah hujan di Stasiun Klimatologi Bali pada 9 hingga 10 September mencapai 385 mm per hari, menjadi yang tertinggi di Indonesia pada hari itu.
"Curah hujan ekstrem di Bali ini merupakan yang tertinggi dalam catatan sejarah di wilayah ini," kata Siswanto, dikutip dari Kompas.id, Jumat (12/9/2025)
Fenomena ini dianggap janggal karena terjadi di puncak musim kemarau, yang seharusnya tidak mendukung terjadinya hujan ekstrem.
Menurut Siswanto, Agustus dan September seharusnya menjadi puncak musim kemarau di sebagian besar Bali dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Sementara itu, Direktur Eksekutif Walhi Bali Made Krisna Dinata mengatakan bahwa banjir bandang, terutama dengan kerusakan di daerah aliran Sungai (DAS) Badung di Denpasar dan Badung, merupakan akibat dari salah urus kebijakan tata kelola lingkungan hidup.
Catatan Walhi Bali periode 2018-2023 menunjukkan, degradasi lahan menjadi bangunan di setiap daerah di Denpasar dan Badung mencapai 6 persen.
Di Denpasar, lahan untuk hidrologi alami yang beralih fungsi seluas 785 hektar (ha). Di Badung mencakup 1.099 ha, Gianyar 128 ha, dan Tabanan 2.676 ha.
Dengan beralih menjadi bangunan, lahan tidak punya lagi kekuatan untuk menampung air hujan. Apalagi, pada 9-10 September 2025, Denpasar dilanda hujan ekstrem.
Perubahan fungsi lahan diperparah dengan okupansi bantaran atau sempadan sehingga Sungai Badung menyempit.Â
Periode 2000-2020, pembangunan hotel, vila, cottage, dan penginapan tercatat mengalami peningkatan hingga dua kali lipat.
Pembangunan ini tentunya berdampak baik untuk melayani para pelancong dan turis domestik serta mancanegara.
Kendati demikian, pembangunan ini juga berdampak buruk pada lingkungan, hidrologi, dan kemampuan alami menghadapi bencana hidrometeorologi.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini