Fenomena ini dianggap janggal karena terjadi di puncak musim kemarau, yang seharusnya tidak mendukung terjadinya hujan ekstrem.
Menurut Siswanto, Agustus dan September seharusnya menjadi puncak musim kemarau di sebagian besar Bali dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Sementara itu, Direktur Eksekutif Walhi Bali Made Krisna Dinata mengatakan bahwa banjir bandang, terutama dengan kerusakan di daerah aliran Sungai (DAS) Badung di Denpasar dan Badung, merupakan akibat dari salah urus kebijakan tata kelola lingkungan hidup.
Catatan Walhi Bali periode 2018-2023 menunjukkan, degradasi lahan menjadi bangunan di setiap daerah di Denpasar dan Badung mencapai 6 persen.
Di Denpasar, lahan untuk hidrologi alami yang beralih fungsi seluas 785 hektar (ha). Di Badung mencakup 1.099 ha, Gianyar 128 ha, dan Tabanan 2.676 ha.
Dengan beralih menjadi bangunan, lahan tidak punya lagi kekuatan untuk menampung air hujan. Apalagi, pada 9-10 September 2025, Denpasar dilanda hujan ekstrem.
Perubahan fungsi lahan diperparah dengan okupansi bantaran atau sempadan sehingga Sungai Badung menyempit.Â
Periode 2000-2020, pembangunan hotel, vila, cottage, dan penginapan tercatat mengalami peningkatan hingga dua kali lipat.
Pembangunan ini tentunya berdampak baik untuk melayani para pelancong dan turis domestik serta mancanegara.
Kendati demikian, pembangunan ini juga berdampak buruk pada lingkungan, hidrologi, dan kemampuan alami menghadapi bencana hidrometeorologi.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini