Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Parikesit Wisnubroto
Dosen

Dosen Fakultas Pertanian, Universitas Andalas

Gengsi yang Hilang: Mengapa Anak Terbaik Tidak Memilih Pertanian?

Kompas.com - 23/09/2025, 11:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Wisnubrata

DI LAYAR televisi dan feed media sosial kita, acara seperti Ruangguru Clash of Champions memamerkan para juara akademik dari fakultas kedokteran, teknik, dan ilmu komputer—mahasiswa-mahasiswa “paling cemerlang” yang menjadi panutan generasi muda.

Profil peserta yang dibagikan Ruangguru menampilkan pemenang dari jurusan-jurusan bergengsi menunjukkan kecenderungan jelas: citra unggul akademik kerap tidak berpihak pada fakultas pertanian.

Fenomena ini bukan sekadar masalah estetika—ia mengisyaratkan tantangan struktural yang berujung pada kelemahan ketahanan pangan jangka panjang.

Situasi nyata di lapangan memperkuat kekhawatiran ini. Di Indonesia, struktur demografis petani menunjukkan usia yang menua: sekitar 80 persen petani berusia 40 tahun ke atas, sebuah tanda bahwa regenerasi di sektor pertanian berjalan lambat.

Sementara itu, sebagian besar produksi pangan nasional masih ditopang oleh usaha pertanian kecil—IPB bahkan menyebut 99 persen produksi pangan Indonesia berasal dari pertanian skala kecil—yang membuat kebutuhan akan tenaga terampil, berpendidikan, dan bermotivasi tinggi menjadi sangat penting.

Baca juga: Merawat Cita-cita Menjadi Petani Sukses

Mengapa anak-anak terbaik jarang memilih pertanian? Ada beberapa sebab yang mudah dikenali.

  • Pertama: persepsi gengsi — jurusan-jurusan tertentu dipandang sebagai jalan pintas menuju status sosial, penghasilan tinggi, dan peluang karier internasional.
  • Kedua: persepsi ekonomi—bekerja di sektor pertanian identik dengan kerja keras, pendapatan tidak menentu, dan akses modal terbatas.
  • Ketiga: kurangnya narasi modernisasi—ketika pertanian dipandang sebagai pekerjaan masa lalu, sedangkan inovasi agritech dan agrobisnis jarang mendapat sorotan glamor. Akibatnya, talenta terbaik cenderung mengalir ke fakultas yang dinilai “bergengsi” oleh masyarakat.

Padahal, kelirunya pandangan ini berisiko strategis. Pangan bukan sekadar komoditas ekonomi—ia fondasi kedaulatan nasional. Sebagaimana Bung Karno pernah menegaskan peran penting pangan dan petani dalam tatanan bangsa—dalam retorikanya petani ditampilkan sebagai penyangga tatanan negara—narasi kebanggaan ini bisa dipakai kembali untuk membangun citra profesi pertanian.

"Pangan adalah pilar hidup matinya sebuah bangsa" adalah salah satu ungkapan yang kerap dikaitkan dengan spirit itu.

Mengembalikan wacana semacam ini bukan romantisisme: ini soal strategi publik. Contoh negara maju menunjukkan bahwa pertanian bisa menjadi sumber kebanggaan nasional sekaligus magnet bagi talenta muda.

Belanda—meskipun kecil secara geografis—menjadi salah satu pengekspor produk agrikultur terbesar di dunia berkat kombinasi penelitian kelas dunia (Wageningen University), teknologi pertanian canggih, dan rantai nilai yang kuat. Reputasi akademik dan profesional di bidang pertanian di sana sangat tinggi sehingga sektor ini menarik talenta global.

Model ini mencontohkan bagaimana pembangunan citra, pendidikan bertaraf internasional, dan jalur karier yang jelas dapat mengubah pilihan generasi muda.

Baca juga: Cak Imin: Mengerikan, Anak Muda Sudah Enggak Mau Jadi Petani, Maunya Jadi PNS

Lalu, apa yang bisa dilakukan agar generasi muda—termasuk mereka yang bukan berasal dari “tier 1” sekolah—kembali menjadikan pertanian sebagai pilihan karier bergengsi dan bermakna? Berikut beberapa rekomendasi realistis yang terinspirasi praktik global dan riset internasional:

1. Ganti narasi dari “kerja keras” ke “kepeloporan teknologi dan kewirausahaan”

Tampilkan agripreneur dan ilmuwan pangan sebagai role model di media mainstream. Program-program seperti Cool Agripreneur yang didukung FAO menekankan pentingnya membangun citra agripreneur yang modern dan dinamis, sehingga anak muda melihat pertanian sebagai arena inovasi dan peluang bisnis.

2. Integrasi pendidikan tinggi dan jalur karier terstruktur

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau