KECERDASAN artifisial (AI) kini menjadi kata kunci yang mendefinisikan era digital. Dari mesin pencari, aplikasi penerjemah, hingga perangkat generatif yang mampu membuat gambar dan teks dengan presisi tinggi, AI menghadirkan janji efisiensi dan inovasi. Namun, di balik pesonanya, AI juga menghadirkan sisi gelap berupa ilusi—suatu kabut tipis yang membuat masyarakat sulit membedakan antara realitas dan rekayasa.
Fenomena AI hallucination atau halusinasi AI menggambarkan bagaimana mesin sering kali “mengarang fakta” seolah-olah benar. Mesin bisa menampilkan data yang meyakinkan, lengkap dengan referensi yang tampak ilmiah, tetapi pada kenyataannya tidak pernah ada.
Ilusi ini menjadi lebih berbahaya ketika bersentuhan dengan rendahnya literasi digital masyarakat. Informasi palsu yang diproduksi AI dapat menyebar begitu cepat, menimbulkan kebingungan, bahkan polarisasi sosial. Kita pun menghadapi risiko munculnya “realitas semu” yang dibangun bukan oleh pengalaman manusia, melainkan oleh algoritma.
Baca juga: 32 Cara AI Bisa “Ngawur”, Mirip Gangguan Mental pada Manusia
Disinformasi yang dipacu AI sebenarnya bukan fenomena baru. Sejarah mencatat bahwa teknologi selalu membawa potensi manipulasi—dari propaganda radio, televisi, hingga media sosial. Namun, kecepatan dan kualitas rekayasa yang ditawarkan AI menjadikan tantangan ini berbeda.
Video palsu (deepfake) yang menampilkan tokoh publik dapat memicu krisis kepercayaan, sementara teks yang disusun AI bisa memperkuat bias dan stereotip tanpa dasar. Masyarakat akhirnya hidup dalam banjir informasi yang sulit diverifikasi.
Meski demikian, ilusi yang lahir dari AI tidak semata-mata negatif. Dalam seni, pendidikan, atau riset ilmiah, AI justru membuka ruang imajinasi baru. Misalnya, simulasi berbasis AI dapat membantu mahasiswa memahami konsep abstrak, atau karya seni generatif dapat menantang batas kreativitas manusia. Dengan kata lain, AI mampu menciptakan ruang eksperimen yang memperkaya budaya dan pengetahuan.
Baca juga: Jika AI Memiliki Kehendak Bebas, Siapa yang Tanggung Jawab Kalau ada Kesalahan?
Persoalannya kemudian bukan pada teknologinya, melainkan pada bagaimana kita mengelola dan menempatkan AI dalam kehidupan sosial. Di sinilah peran regulasi, literasi, dan etika menjadi sangat krusial.
Negara perlu hadir dengan kebijakan yang jelas mengenai penggunaan AI, terutama dalam konteks media, pendidikan, dan politik. Akademisi dan praktisi teknologi harus memastikan sistem AI lebih transparan, sementara media massa wajib menjaga standar verifikasi agar tidak terjebak dalam jebakan halusinasi digital.
Lebih dari itu, masyarakat saat ini harus diperlengkapi dengan kemampuan kritis menghadapi banjir informasi. Literasi digital bukan lagi sekadar kemampuan teknis menggunakan gawai, melainkan kecakapan menilai kredibilitas informasi, mengenali potensi manipulasi, dan memahami logika di balik algoritma.
AI seharusnya menjadi alat yang memperkuat daya pikir manusia, bukan menggantikannya. Jika kita gagal menjaga keseimbangan ini, risiko terbesar adalah terciptanya masyarakat yang hidup dalam kabut halusinasi kolektif, di mana fakta dan fiksi bercampur tanpa batas.
Tantangan terbesar kita saat ini adalah memastikan teknologi tetap menjadi sarana emansipasi, bukan penjara ilusi. Dengan demikian, AI harus ditempatkan bukan hanya sebagai mesin cerdas, melainkan juga sebagai cermin yang mengingatkan kita akan pentingnya daya kritis manusia.
Tanpa itu, kita mungkin saja hidup di era paling maju secara teknologi, tetapi sekaligus paling rapuh dalam membedakan kenyataan dari rekayasa.
Baca juga: Mengapa Chatbot AI Menggunakan Begitu Banyak Energi?
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini