Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Prof. Dr. Ahmad M Ramli
Guru Besar Cyber Law & Regulasi Digital UNPAD

Guru Besar Cyber Law, Digital Policy-Regulation & Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Inovasi Jepang: Kucing Jadi Kepala Stasiun, AI Jadi Pemimpin Parpol

Kompas.com - 23/09/2025, 11:21 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

JEPANG memang kerap memiliki inovasi unik. Kita mengenal berbagai invensi teknologi yang dihasilkan dan memiliki manfaat praktis dan nyata.

Jepang juga unik. Kita masih ingat beberapa waktu lalu, perusahaan kereta swasta di Jepang melakukan hal tak biasa. Seekor kucing bernama Tama diangkat menjadi kepala stasiun kereta api di Prefektur Wakayama.

Yontama, nama lengkap sang kucing itu, justru sukses membantu menyelamatkan rute kereta Kishigawa di prefektur Wakayama, daerah terpencil yang dikenal dengan perbukitannya yang dipenuhi kuil dan jalur ziarah sakral.

Kreativitas ini ternyata tak sekadar “gimmick” karena berdampak signifikan menyelamatkan stasiun kecil yang hampir bangkrut itu.

Keberanian inovasi ini ternyata telah menarik minat wisatawan untuk berkunjung ke stasiun yang semula tak dihiraukan itu dan memantik pertumbuhan ekonomi lokal.

Inovasi yang tak kalah kerennya buah karya inventor Jepang adalah QR Code. Dalam rilis Investopedia berjudul “Quick Response (QR) Code: What They Are, How They Work, and Types” (25/8/2025), QR Code adalah kode respons cepat (QR), sejenis kode batang matriks yang memanfaatkan kotak hitam pada latar belakang putih untuk pengkodean informasi, yang dapat dibaca oleh perangkat citra.

QR Code dapat dipindai oleh perangkat digital, dan menyimpan informasi sebagai serangkaian piksel dalam kotak berbentuk persegi.

Teknologi ini menjembatani dunia fisik dan digital. Orang dapat memindai untuk mendapatkan informasi via ponsel. Sungguh praktis.

Baca juga: AI Jadi Menteri di Albania, Bagaimana Status Hukumnya?

Sebagaimana dipublikasikan European Patent Office (EPO), QR code berawal dari upaya Masahiro Hara untuk meningkatkan sistem logistik perusahaan tempatnya bekerja di Jepang pada 1994.

Kantor Paten Uni Eropa itu menyatakan, invensi ini menjadi jembatan dunia fisik dan virtual.

Hebatnya, invensi itu telah mengantarkan Hara meraih Excellence Award dari Nikkei Business Publications pada 2007 dan Good Design Award dari Japan Institute of Design Promotion pada  2012.

Inovasi ini menghadirkan manfaat sosial seperti memudahkan konsumen mengakses informasi dan berbelanja hanya dengan memindai iklan atau produk.

EPO menyebut, manfaat ekonomi juga tampak melalui pertumbuhan pesat penggunaan di Eropa, Amerika, hingga Asia termasuk Indonesia.

Keberhasilan kode QR menjadi simbol efisiensi digital dan kreativitas teknologi modern termasuk di bidang keuangan dan perbankan.

AI dan partai politik

Sejarah kini seakan berulang. Meski di ranah berbeda dan sebagai inovasi politik, tapi membuat media dunia berebut melaporkannya. Salah satu partai politik baru di Jepang berencana menempatkan Artificial Intelligence (AI) sebagai ketua partainya.

Jika sebelumnya kucing dipilih sebagai simbol kedekatan manusia dengan alam dan strategi branding sosial, maka AI dipilih sebagai simbol masa depan dan inovasi politik yang bebas konflik kepentingan.

Jepang tampaknya ingin menunjukkan bahwa kepemimpinan tidak selalu harus dipegang manusia, melainkan bisa dipersonifikasi lewat “makhluk non-manusia”.

Secara analitik, pergeseran ini bisa dipandang sebagai hal yang memperlihatkan bagaimana masyarakat Jepang terbuka terhadap ide-ide dan inovasi tak biasa dan tidak konvensional.

Dilaporkan Japanese Time “New Japanese political party to install AI leader” (16/9/2025), partai politik baru di Jepang mengatakan, mereka akan menempatkan AI sebagai pemimpin, setelah pendirinya yang tidak konvensional mengundurkan diri menyusul penampilan buruk dalam pemilihan umum baru-baru ini.

Partai politik regional Saisei no Michiyang diluncurkan pada bulan Januari oleh Shinji Ishimaru, mantan wali kota di Jepang bagian barat, tidak memiliki platform kebijakan dan para anggotanya bebas menentukan agenda mereka sendiri.

Baca juga: MBG Makin Horor

Ishimaru secara tak terduga berada di posisi kedua dalam pemilihan gubernur Tokyo 2024 berkat kampanye daring yang sukses, tetapi ia keluar dari partai setelah tak memperoleh satu kursi pun dalam pemilihan majelis tinggi tahun ini.

Partai itu kemudian memilih AI untuk menjadi pemimpin baru yang rinciannya akan ditetapkan kemudian.

Fenomena ini tak terlepas dari pemikiran bahwa AI tidak akan mendikte aktivitas politik anggota partai, tetapi akan fokus pada keputusan seperti distribusi sumber daya di antara anggota.

Media barat CNN menurunkan laporan “AI have a dream? A fringe party in Japan wants a chatbot penguin to be its leader”(19/9/2025).

CNN menyebut AI yang akan menjadi ketua partai bukan sekadar platform abstrak, tetapi diwujudkan dalam bentuk chatbot avatar penguin.

Penguin dipilih karena dianggap sesuai dengan masyarakat Jepang sebagai pencinta hewan, hal ini mungkin terinspirasi kisah Kucing Tama.

Aktivis partai itu Koki Okumura, mahasiswa doktoral dari Universitas Kyoto, menyebut dirinya hanya akan berperan sebagai “asisten” AI sang pemimpin baru.

Menurutnya, AI akan mengambil alih pengambilan keputusan operasional partai dengan presisi yang lebih baik daripada manusia.

Regulasi

Hal yang perlu dicatat tentunya secara hukum AI tidak bisa ikut pemilu karena undang-undang mengharuskan kandidat adalah warga negara Jepang.

AI rupanya diproyeksikan bukan sekadar alat analisis kampanye, melainkan simbol kepemimpinan. Inovasi ini membuka ruang diskusi baru: apakah demokrasi bisa diwakili oleh entitas non-manusia?

Secara hukum, jelas AI tidak bisa menjadi subjek hukum. Status AI seperti yang sering saya kemukakan dalam beberapa tulisan hanyalah sebagai objek hukum.

Konstitusi di berbagai negara umumnya secara eksplisit mensyaratkan, pemimpin partai dan peserta pemilu identik dengan manusia, bukan mesin. Karena itu, status AI di sini lebih sebagai kreativitas politik dan menjadi simbol ketua.

Tanggung jawab segala produknya, tentu akan tetap berada pada manusia, yang mendampingi atau mengoperasikannya.

Meskipun tak ditampik, banyak kalangan memprediksi ke depan, jika teknologi makin dipercaya, bukan mustahil muncul perdebatan hukum baru mengenai representasi digital dalam peran politik.

Baca juga: Dari Film ke Politik: Saat Bioskop Jadi Panggung Presiden

Politik selalu terkait akuntabilitas. Jika AI membuat rekomendasi kebijakan atau distribusi sumber daya, siapa yang akan dimintai pertanggungjawaban jika terjadi kesalahan.

Pertanyaan ini penting karena bisa memicu masalah legitimasi. Demokrasi membutuhkan aktor yang dapat dimintai pertanggungjawaban, sementara AI hanya algoritma yang bekerja berdasarkan data.

Jepang adalah salah satu masyarakat paling akrab dengan teknologi. Dari robot humanoid hingga sistem AI di layanan publik, warga Jepang terbiasa hidup berdampingan dengan mesin cerdas.

Budaya ini memudahkan penerimaan ide AI sebagai pemimpin partai, meski di negara lain mungkin akan dianggap aneh.

Sama seperti kasus Tama si kucing, masyarakat Jepang bisa saja melihat AI sebagai ikon yang menambah daya tarik politik.

Secara teknis, AI memang mampu mengolah data besar dengan cepat seperti tren pemilih, distribusi sumber daya, hingga analisis isu publik. Namun, AI hanya secerdas data yang dimasukkan atau ia peroleh.

Risiko bias algoritmik, manipulasi data, halusinasi, dan ketidakmampuan memahami nilai-nilai etis dan emosional manusia membuat AI sulit menggantikan kepemimpinan politik sepenuhnya.

Karena itu, saya menilai bahwa peran AI lebih tepat diposisikan sebagai alat bantu pengambilan keputusan, bukan penentu akhir.

Namun, terlepas dari itu semua, Generasi Z yang tumbuh dalam ekosistem digital bisa saja cenderung lebih suka dan terbuka terhadap inovasi ini. Sehingga menjadi peluang minat dan ketertarikan politik.

AI kemungkinan dianggap sebagai simbol politik yang netral, modern, transparan, bebas konflik kepentingan dan penyalahgunaan, dan lebih sesuai dengan dunia mereka yang serba digital.

Di tengah kekecewaan terhadap model politik konvensional, bisa saja AI dapat berfungsi sebagai “mahkluk baru” yang menyegarkan. Apakah hal ini akan berujung pada suara nyata dalam pemilu, tentu perlu dikaji.

Namun harus diingat, masyarakat kemungkinan tak sepenuhnya siap menerima partai yang terlalu bergantung pada AI. Karena ranah politik lebih berbicara tentang sosok individu kredibel berhati nurani yang bisa menyerap aspirasi rakyat.

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini


Terkini Lainnya
Simpan 4 Jasad Bayinya di Rumah Kontrakan, Ibu AS Ditangkap Polisi
Simpan 4 Jasad Bayinya di Rumah Kontrakan, Ibu AS Ditangkap Polisi
Global
Ketika Padel Redup di Swedia, tapi Malah Meledak di Indonesia...
Ketika Padel Redup di Swedia, tapi Malah Meledak di Indonesia...
Global
Dimotori Gen Z, Berikut 5 Fakta Demo di Peru
Dimotori Gen Z, Berikut 5 Fakta Demo di Peru
Global
Trump Akan Temui Pemimpin Negara Mayoritas Muslim di Forum PBB Bahas Pascaperang di Gaza
Trump Akan Temui Pemimpin Negara Mayoritas Muslim di Forum PBB Bahas Pascaperang di Gaza
Global
Usai Akui Palestina, Negara Barat Tawarkan Bantuan untuk Pasien Gaza
Usai Akui Palestina, Negara Barat Tawarkan Bantuan untuk Pasien Gaza
Global
Mikrofon Prabowo Tiba-tiba Mati Saat Pidato di Sidang PBB, Kemlu RI Beri Klarifikasi
Mikrofon Prabowo Tiba-tiba Mati Saat Pidato di Sidang PBB, Kemlu RI Beri Klarifikasi
Global
Trump Siap Berpidato di Sidang Umum PBB, Dunia Soroti 'America First'
Trump Siap Berpidato di Sidang Umum PBB, Dunia Soroti "America First"
Global
Erdogan Ingin Beli Ratusan Boeing dan Jet Tempur AS, tapi Minta Komponen Diproduksi di Turkiye
Erdogan Ingin Beli Ratusan Boeing dan Jet Tempur AS, tapi Minta Komponen Diproduksi di Turkiye
Global
Pemerintah Italia Belum Akui Palestina, Puluhan Ribu Rakyat Demo
Pemerintah Italia Belum Akui Palestina, Puluhan Ribu Rakyat Demo
Global
Negara Dekat RI Diterjang Topan Dahsyat Ragasa, Ancaman Menjalar hingga ke China
Negara Dekat RI Diterjang Topan Dahsyat Ragasa, Ancaman Menjalar hingga ke China
Global
Bagaimana Masa Depan Palestina Usai Diakui Jadi Sebuah Negara?
Bagaimana Masa Depan Palestina Usai Diakui Jadi Sebuah Negara?
Global
Eks Presiden Filipina Duterte Didakwa atas Kejahatan Kemanusiaan dalam Perang Narkoba
Eks Presiden Filipina Duterte Didakwa atas Kejahatan Kemanusiaan dalam Perang Narkoba
Global
Inovasi Jepang: Kucing Jadi Kepala Stasiun, AI Jadi Pemimpin Parpol
Inovasi Jepang: Kucing Jadi Kepala Stasiun, AI Jadi Pemimpin Parpol
Global
Ini Negara yang Mengakui Palestina dan yang Masih Menolak
Ini Negara yang Mengakui Palestina dan yang Masih Menolak
Global
Skandal Eks Ibu Negara Korsel Kim Keon Hee Seret Pimpinan Gereja Unifikasi
Skandal Eks Ibu Negara Korsel Kim Keon Hee Seret Pimpinan Gereja Unifikasi
Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau