Jika sebelumnya kucing dipilih sebagai simbol kedekatan manusia dengan alam dan strategi branding sosial, maka AI dipilih sebagai simbol masa depan dan inovasi politik yang bebas konflik kepentingan.
Jepang tampaknya ingin menunjukkan bahwa kepemimpinan tidak selalu harus dipegang manusia, melainkan bisa dipersonifikasi lewat “makhluk non-manusia”.
Secara analitik, pergeseran ini bisa dipandang sebagai hal yang memperlihatkan bagaimana masyarakat Jepang terbuka terhadap ide-ide dan inovasi tak biasa dan tidak konvensional.
Dilaporkan Japanese Time “New Japanese political party to install AI leader” (16/9/2025), partai politik baru di Jepang mengatakan, mereka akan menempatkan AI sebagai pemimpin, setelah pendirinya yang tidak konvensional mengundurkan diri menyusul penampilan buruk dalam pemilihan umum baru-baru ini.
Partai politik regional Saisei no Michiyang diluncurkan pada bulan Januari oleh Shinji Ishimaru, mantan wali kota di Jepang bagian barat, tidak memiliki platform kebijakan dan para anggotanya bebas menentukan agenda mereka sendiri.
Baca juga: MBG Makin Horor
Ishimaru secara tak terduga berada di posisi kedua dalam pemilihan gubernur Tokyo 2024 berkat kampanye daring yang sukses, tetapi ia keluar dari partai setelah tak memperoleh satu kursi pun dalam pemilihan majelis tinggi tahun ini.
Partai itu kemudian memilih AI untuk menjadi pemimpin baru yang rinciannya akan ditetapkan kemudian.
Fenomena ini tak terlepas dari pemikiran bahwa AI tidak akan mendikte aktivitas politik anggota partai, tetapi akan fokus pada keputusan seperti distribusi sumber daya di antara anggota.
Media barat CNN menurunkan laporan “AI have a dream? A fringe party in Japan wants a chatbot penguin to be its leader”(19/9/2025).
CNN menyebut AI yang akan menjadi ketua partai bukan sekadar platform abstrak, tetapi diwujudkan dalam bentuk chatbot avatar penguin.
Penguin dipilih karena dianggap sesuai dengan masyarakat Jepang sebagai pencinta hewan, hal ini mungkin terinspirasi kisah Kucing Tama.
Aktivis partai itu Koki Okumura, mahasiswa doktoral dari Universitas Kyoto, menyebut dirinya hanya akan berperan sebagai “asisten” AI sang pemimpin baru.
Menurutnya, AI akan mengambil alih pengambilan keputusan operasional partai dengan presisi yang lebih baik daripada manusia.
Hal yang perlu dicatat tentunya secara hukum AI tidak bisa ikut pemilu karena undang-undang mengharuskan kandidat adalah warga negara Jepang.
AI rupanya diproyeksikan bukan sekadar alat analisis kampanye, melainkan simbol kepemimpinan. Inovasi ini membuka ruang diskusi baru: apakah demokrasi bisa diwakili oleh entitas non-manusia?