Secara hukum, jelas AI tidak bisa menjadi subjek hukum. Status AI seperti yang sering saya kemukakan dalam beberapa tulisan hanyalah sebagai objek hukum.
Konstitusi di berbagai negara umumnya secara eksplisit mensyaratkan, pemimpin partai dan peserta pemilu identik dengan manusia, bukan mesin. Karena itu, status AI di sini lebih sebagai kreativitas politik dan menjadi simbol ketua.
Tanggung jawab segala produknya, tentu akan tetap berada pada manusia, yang mendampingi atau mengoperasikannya.
Meskipun tak ditampik, banyak kalangan memprediksi ke depan, jika teknologi makin dipercaya, bukan mustahil muncul perdebatan hukum baru mengenai representasi digital dalam peran politik.
Baca juga: Dari Film ke Politik: Saat Bioskop Jadi Panggung Presiden
Politik selalu terkait akuntabilitas. Jika AI membuat rekomendasi kebijakan atau distribusi sumber daya, siapa yang akan dimintai pertanggungjawaban jika terjadi kesalahan.
Pertanyaan ini penting karena bisa memicu masalah legitimasi. Demokrasi membutuhkan aktor yang dapat dimintai pertanggungjawaban, sementara AI hanya algoritma yang bekerja berdasarkan data.
Jepang adalah salah satu masyarakat paling akrab dengan teknologi. Dari robot humanoid hingga sistem AI di layanan publik, warga Jepang terbiasa hidup berdampingan dengan mesin cerdas.
Budaya ini memudahkan penerimaan ide AI sebagai pemimpin partai, meski di negara lain mungkin akan dianggap aneh.
Sama seperti kasus Tama si kucing, masyarakat Jepang bisa saja melihat AI sebagai ikon yang menambah daya tarik politik.
Secara teknis, AI memang mampu mengolah data besar dengan cepat seperti tren pemilih, distribusi sumber daya, hingga analisis isu publik. Namun, AI hanya secerdas data yang dimasukkan atau ia peroleh.
Risiko bias algoritmik, manipulasi data, halusinasi, dan ketidakmampuan memahami nilai-nilai etis dan emosional manusia membuat AI sulit menggantikan kepemimpinan politik sepenuhnya.
Karena itu, saya menilai bahwa peran AI lebih tepat diposisikan sebagai alat bantu pengambilan keputusan, bukan penentu akhir.
Namun, terlepas dari itu semua, Generasi Z yang tumbuh dalam ekosistem digital bisa saja cenderung lebih suka dan terbuka terhadap inovasi ini. Sehingga menjadi peluang minat dan ketertarikan politik.
AI kemungkinan dianggap sebagai simbol politik yang netral, modern, transparan, bebas konflik kepentingan dan penyalahgunaan, dan lebih sesuai dengan dunia mereka yang serba digital.
Di tengah kekecewaan terhadap model politik konvensional, bisa saja AI dapat berfungsi sebagai “mahkluk baru” yang menyegarkan. Apakah hal ini akan berujung pada suara nyata dalam pemilu, tentu perlu dikaji.
Namun harus diingat, masyarakat kemungkinan tak sepenuhnya siap menerima partai yang terlalu bergantung pada AI. Karena ranah politik lebih berbicara tentang sosok individu kredibel berhati nurani yang bisa menyerap aspirasi rakyat.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini