Terjadi problematika hak cipta: pencipta lagu merasa kurang dihargai oleh penyanyi atau mantan partner dalam grup musik (band).
Dulunya mereka adalah kumpulan musisi yang berjuang dan berkarya bersama. Namun, karena terjadi konflik, muncul sentimen berujung kasus hukum.
Lagu dan/atau musik, menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU HC) adalah obyek yang dilindungi hukum.
Selama ini, permasalahan hak cipta minim terjadi apabila pencipta lagu atau pemegang ciptaan atas lagu tersebut juga merupakan penyanyi. Penyanyi dalam UU HC disebut sebagai pelaku pertunjukkan.
Namun, permasalahan terkait hak ekonomi jamak terjadi apabila pelaku pertunjukkan bukan merupakan pencipta lagu atau pemegang ciptaan.
Era media sosial seperti saat ini memudahkan terjadi diskursus melalui penilaian pribadi dalam melihat salah atau benarnya suatu konflik hak cipta.
Peran hakim sangat ditunggu dan diperlukan dalam menilai unsur kesengajaan melanggar hukum alias niat jahat (mens rea) dari subyek hukum yang terlibat.
Prof Moeljatno dalam buku Asas-Asas Hukum Pidana menyatakan tiada pidana tanpa kesalahan. Kesalahan yang dimaksud adalah pembuktian keadaan psikis dari pelaku pidana, sehingga orang yang melanggar ketentuan pidana, tidak otomatis dipidana atau diputuskan bersalah.
Menarik mencermati sidang uji materiil UU Hak Cipta yang tengah berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK). Sammy Simorangkir, salah satu penyanyi yang menjadi saksi dalam sidang.
Sammy tentu berperan dalam populernya lagu Kerispatih berjudul Bila Rasaku Ini Rasamu ciptaan Badai ex Kerispatih.
Namun, Badai selaku pencipta menyatakan secara lisan tidak memberi izin Sammy membawakan lagu ciptaannya kecuali memberikan honorarium Rp 5 juta.
Sammy tentu merasa keputusan Badai tidak tepat. Faktanya lagu dengan hasil dari vokalnya tersebut sampai saat ini masih tayang dalam berbagai platform.
Kepastian hukum dalam perundang-undangan Hak Cipta juga tidak jelas. Patokan dan keputusan Pencipta dalam menetapkan pembayaran kepada pihak yang dianggap merugikan juga berbeda-beda.
Dilansir dari Kompas.com, sejak kasus pelanggaran hak cipta musik di restoran mengemuka, beberapa tempat makan memilih alternatif yang terbilang aman.
Tanpa memutar lagu-lagu dari musisi Indonesia, sejumlah kafe dan restoran justru memilih menyiarkan suara gemericik air maupun kicauan burung di tempat usahanya.
Padahal jika sedang bersantai, telinga lebih mudah menerima lagu yang sedang atau lagu yang potensial menjadi populer.
Hakim MK Arief Hidayat dan Muhammad Fatahillah Akbar selaku Ahli Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada menekankan bahwa iklim bermusik di Indonesia terancam apabila ancaman pidana sebagai primum remedium (upaya utama), bukan ultimum remedium (upaya terakhir) dalam penegakan hukum Hak Cipta.
Penyanyi berbakat takut masuk penjara daripada ikut berperan mempopulerkan karya lagu milik rekannya, bahkan dalam keadaan sedang tidak berkonflik dengan rekannya tersebut.
Keterbatasan alternatif penyelesaian sengketa
Lawrence M. Friedman menyatakan bahwa substansi hukum adalah salah satu elemen yang penting dalam sistem hukum. Implementasi substansi hukum adalah UU dan segala peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 95 UU HC menyatakan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), khususnya mediasi, adalah jalan yang harus ditempuh sebelum melakukan tuntutan pidana.
Masalahnya, pengaturan mediasi dalam UU HC sangat terbatas, dengan hanya 1 (satu) Pasal saja.
Sementara itu, APS diatur secara khusus dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Namun, UU tersebut hanya komprehensif mengatur arbitrase.
Padahal ada APS lainnya, yakni konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli.
Perma Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan malah mengecualikan kasus hak cipta karena merupakan sengketa yang diselesaikan melalui prosedur Pengadilan Niaga.
Permenkumham Nomor 1 Tahun 2023 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Kekayaan Intelektual juga kurang serius dalam menerapkan pidana sebagai ultimum remedium.Â
Aturan tersebut menyatakan proses penyelesaian sengketa hak cipta melalui mediasi tidak menghentikan proses hukum pidana.
Melihat fakta di atas, untuk meminimalkan sengketa terkait hak cipta harus dilakukan dengan revisi UU HC, khususnya pada keseriusan penggunaan penyelesaian sengketa melalui APS.
Menimbang urgensi akibat kegaduhan terkini, lebih tepat revisi pengaturan APS diatur di dalam UU HC daripada harus membentuk baru UU APS yang sudah usang (berlaku sejak tahun 1999-sekarang).
Penambahan Pasal terkait upaya dan sanksi administratif, kecuali pada tindak pidana berupa pembajakan, diperlukan upaya keperdataan yang tidak bersamaan dengan proses pidana.
Harapan juga kepada Mahkamah Konstitusi agar memberikan putusan judicial review atas UU HC yang memenuhi rasa keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum.
UU HC adalah pengaturan yang bersifat khusus di luar KUHP, sehingga jangan setengah-setengah dalam memberikan pengaturan lex specialis.
UU HC harus komprehensif mengatur sehingga tercapai kemanfaatan bagi masyarakat. Sebagaimana teori utilitarianisme dalam hukum, bahwa hukum menurut Jeremy Bentham haruslah memberikan kebahagiaan bagi banyak orang.
https://www.kompas.com/konsultasihukum/read/2025/08/05/174207180/jalur-non-pidana-menyelesaikan-konflik-hak-cipta