Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Herlambang F Sejati
Pegawai Negeri Sipil

Herlambang Fadlan Sejati, SH adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Sudah hampir 10 tahun menjadi Analis Hukum Ahli di Kementerian Hukum Republik Indonesia. Sebagai Analis Hukum, bertugas Analisis dan Evaluasi peraturan perundang-undangan dan memberikan pendapat hukum (legal opinion) bagi Pemerintah maupun masyarakat. Semasa kuliah pernah menjadi Asisten salah satu Dosen Departemen Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada. Tertarik dengan penulisan opini maupun ilmiah. Penyuka musik dan sepakbola (AC Milan).

Jalur Non-Pidana Menyelesaikan Konflik Hak Cipta

Kompas.com - 05/08/2025, 17:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

HOMO Homini Lupus, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Pernyataan yang disampaikkan Thomas Hobbes dalam karyanya De Cive (1651) relevan dengan keadaan saat ini.

Terjadi problematika hak cipta: pencipta lagu merasa kurang dihargai oleh penyanyi atau mantan partner dalam grup musik (band).

Dulunya mereka adalah kumpulan musisi yang berjuang dan berkarya bersama. Namun, karena terjadi konflik, muncul sentimen berujung kasus hukum.

Lagu dan/atau musik, menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU HC) adalah obyek yang dilindungi hukum.

Selama ini, permasalahan hak cipta minim terjadi apabila pencipta lagu atau pemegang ciptaan atas lagu tersebut juga merupakan penyanyi. Penyanyi dalam UU HC disebut sebagai pelaku pertunjukkan.

Namun, permasalahan terkait hak ekonomi jamak terjadi apabila pelaku pertunjukkan bukan merupakan pencipta lagu atau pemegang ciptaan.

Baca juga: Perang Royalti di Era Musik Generatif AI

Era media sosial seperti saat ini memudahkan terjadi diskursus melalui penilaian pribadi dalam melihat salah atau benarnya suatu konflik hak cipta.

Peran hakim sangat ditunggu dan diperlukan dalam menilai unsur kesengajaan melanggar hukum alias niat jahat (mens rea) dari subyek hukum yang terlibat.

Prof Moeljatno dalam buku Asas-Asas Hukum Pidana menyatakan tiada pidana tanpa kesalahan. Kesalahan yang dimaksud adalah pembuktian keadaan psikis dari pelaku pidana, sehingga orang yang melanggar ketentuan pidana, tidak otomatis dipidana atau diputuskan bersalah.

Menarik mencermati sidang uji materiil UU Hak Cipta yang tengah berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK). Sammy Simorangkir, salah satu penyanyi yang menjadi saksi dalam sidang.

Sammy tentu berperan dalam populernya lagu Kerispatih berjudul Bila Rasaku Ini Rasamu ciptaan Badai ex Kerispatih.

Namun, Badai selaku pencipta menyatakan secara lisan tidak memberi izin Sammy membawakan lagu ciptaannya kecuali memberikan honorarium Rp 5 juta.

Sammy tentu merasa keputusan Badai tidak tepat. Faktanya lagu dengan hasil dari vokalnya tersebut sampai saat ini masih tayang dalam berbagai platform.

Kepastian hukum dalam perundang-undangan Hak Cipta juga tidak jelas. Patokan dan keputusan Pencipta dalam menetapkan pembayaran kepada pihak yang dianggap merugikan juga berbeda-beda.

Dilansir dari Kompas.com, sejak kasus pelanggaran hak cipta musik di restoran mengemuka, beberapa tempat makan memilih alternatif yang terbilang aman.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau