Tanpa memutar lagu-lagu dari musisi Indonesia, sejumlah kafe dan restoran justru memilih menyiarkan suara gemericik air maupun kicauan burung di tempat usahanya.
Padahal jika sedang bersantai, telinga lebih mudah menerima lagu yang sedang atau lagu yang potensial menjadi populer.
Hakim MK Arief Hidayat dan Muhammad Fatahillah Akbar selaku Ahli Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada menekankan bahwa iklim bermusik di Indonesia terancam apabila ancaman pidana sebagai primum remedium (upaya utama), bukan ultimum remedium (upaya terakhir) dalam penegakan hukum Hak Cipta.
Baca juga: Di Balik Konflik Royalti, AI Siap Mencuri
Penyanyi berbakat takut masuk penjara daripada ikut berperan mempopulerkan karya lagu milik rekannya, bahkan dalam keadaan sedang tidak berkonflik dengan rekannya tersebut.
Lawrence M. Friedman menyatakan bahwa substansi hukum adalah salah satu elemen yang penting dalam sistem hukum. Implementasi substansi hukum adalah UU dan segala peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 95 UU HC menyatakan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), khususnya mediasi, adalah jalan yang harus ditempuh sebelum melakukan tuntutan pidana.
Masalahnya, pengaturan mediasi dalam UU HC sangat terbatas, dengan hanya 1 (satu) Pasal saja.
Sementara itu, APS diatur secara khusus dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Namun, UU tersebut hanya komprehensif mengatur arbitrase.
Padahal ada APS lainnya, yakni konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli.
Perma Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan malah mengecualikan kasus hak cipta karena merupakan sengketa yang diselesaikan melalui prosedur Pengadilan Niaga.
Permenkumham Nomor 1 Tahun 2023 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Kekayaan Intelektual juga kurang serius dalam menerapkan pidana sebagai ultimum remedium.Â
Aturan tersebut menyatakan proses penyelesaian sengketa hak cipta melalui mediasi tidak menghentikan proses hukum pidana.
Melihat fakta di atas, untuk meminimalkan sengketa terkait hak cipta harus dilakukan dengan revisi UU HC, khususnya pada keseriusan penggunaan penyelesaian sengketa melalui APS.
Baca juga: Sound Horeg dan Perlawanan Sunyi Budaya Rakyat
Menimbang urgensi akibat kegaduhan terkini, lebih tepat revisi pengaturan APS diatur di dalam UU HC daripada harus membentuk baru UU APS yang sudah usang (berlaku sejak tahun 1999-sekarang).
Penambahan Pasal terkait upaya dan sanksi administratif, kecuali pada tindak pidana berupa pembajakan, diperlukan upaya keperdataan yang tidak bersamaan dengan proses pidana.
Harapan juga kepada Mahkamah Konstitusi agar memberikan putusan judicial review atas UU HC yang memenuhi rasa keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum.
UU HC adalah pengaturan yang bersifat khusus di luar KUHP, sehingga jangan setengah-setengah dalam memberikan pengaturan lex specialis.
UU HC harus komprehensif mengatur sehingga tercapai kemanfaatan bagi masyarakat. Sebagaimana teori utilitarianisme dalam hukum, bahwa hukum menurut Jeremy Bentham haruslah memberikan kebahagiaan bagi banyak orang.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini