SUASANA Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mendadak tegang saat advokat Adnan Buyung Nasution memprotes pembacaan putusan atas perkara subversi dari tokoh militer dan politik H.R. Darsono yang sedang dibacakan oleh hakim Soedijono pada Maret 1986 silam.
Waktu itu, Buyung, sapaan akrab dari legenda advokat Indonesia berambut putih dan bersuara lantang itu merasa tersinggung, karena ada potongan kalimat dalam pertimbangan hakim yang menyebut dirinya “tidak etis”, hingga protes Buyung membuat hakim menghentikan pembacaan putusan.
Saat polisi memasuki ruang sidang, Buyung menghardik polisi agar keluar dengan argumentasi bahwa ruang sidang bukanlah urusan polisi, karena masih di bawah wewenang hakim.
H.R. Darsono akhirnya divonis 10 tahun penjara. Namun, tindakan Buyung membuatnya dilaporkan oleh hakim Soedijono ke Mahkamah Agung atas tuduhan merendahkan martabat lembaga peradilan (contempt of court).
Buyung sempat dijatuhkan putusan administratif oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mencabut izin praktiknya sebagai pengacara.
Sepak terjang Buyung jelas tidak serta-merta dapat disamakan dengan kasus advokat yang begitu menghebohkan publik karena protesnya yang dianggap berlebihan hingga menaiki meja sidang pengadilan.
Tidak hanya diberhentikan oleh organisasinya, kini yang bersangkutan juga dilaporkan ke polisi dengan tiga pasal berlapis, yaitu 335, 207, dan 217 KUHP, tentu dengan mengedepankannya praduga tak bersalah.
Baca juga: Hilangnya Marwah Pengadilan
Menurut Black’s Law Dictionary Edisi 9, Contempt of Court (CoC) didefinisikan sebagai tindakan yang menentang wewenang atau martabat pengadilan.
Artinya, menyerang atau mengancam siapapun yang ada di persidangan merupakan perbuatan yang dianggap sebagai ancaman serius terhadap independensi peradilan.
Selanjutnya, Black’s Law juga membedakan antara “civil contempt” sebagai kegagalan menaati perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan hukum suatu pihak dan “criminal contempt”, yaitu suatu tindakan yang merintangi peradilan atau menyerang integritas pengadilan.
Istilah CoC pertama kalinya ditemukan dalam Penjelasan UU Mahkamah Agung, yaitu untuk dapat menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan.
Adapun bentuk umum CoC antara lain: berperilaku tercela dan tidak pantas di pengadilan, tidak mentaati perintah pengadilan, menyerang integritas dan impartialitas pengadilan, menghalangi jalannya penyelenggaraan pengadilan, dan penghinaan terhadap pengadilan dengan cara publikasi.
Dalam KUHP Lama, CoC memang belum dikriminalisasi secara khusus. Namun perbuatannya tersebar dalam beberapa delik umum yang bergantung pada pemenuhan unsur-unsur tindak pidana secara faktual dan tidak bisa dianalogikan, melainkan dengan jalan penafsiran, misalnya di Pasal 207, 212, 216-218, 223-224, 281, 310, dan 315-316 KUHP.
Sedangkan ketentuan hukum acaranya mengacu pada pasal 218 KUHAP, yaitu: dalam ruang sidang siapapun wajib menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan.
Siapa pun yang di sidang pengadilan bersikap tidak sesuai dengan martabat pengadilan dan tidak menaati tata tertib setelah mendapat peringatan dari hakim ketua, dikeluarkan dari ruang sidang, dan pelanggaran tata tertib yang bersifat tindak pidana dapat dilakukan penuntutan.
Menurut yurisprudensi umum, siapapun yang hadir di persidangan tentunya dapat menjadi pelaku CoC, yaitu para pihak dalam perkara perdata dan terdakwa/jaksa dalam perkara pidana, kemudian advokat, saksi, polisi, petugas pengadilan, wartawan, dan pengunjung sidang, termasuk juga hakim atau juri.
Baca juga: “Political Recalling” DPR Gagasan Keblinger
Dalam Bab VI, mulai dari Pasal 279-299 UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP Baru yang akan berlaku efektif tahun 2026, pembentuk KUHP baru memilih judul “Tindak Pidana Terhadap Proses Peradilan”.
Bab VI itu terdiri dari 4 bagian, yaitu Penyesatan terhadap proses peradilan, Mengganggu dan Merintangi Proses Peradilan, Perusakan Gedung, Ruang Sidang, dan Alat Perlengkapan Sidang Pengadilan, dan Pelindungan Saksi dan Korban.
Tindak Pidana Penyesatan Proses Peradilan (sebelumnya diusulkan dengan nama “Rekayasa Kasus”), lahir usulannya dalam rapat kerja Pemerintah dan Tenaga Ahli RKUHP dengan Komisi III DPR RI tanggal 9 November 2022, karena waktu itu viral dugaan rekayasa kasus dalam perkara pembunuhan Brigadir J, tentunya dengan pengaturan sanksi yang lebih berat.
Sedangkan dalam Pasal 280 KUHP Baru, diatur CoC yang tergolong ringan dengan Pidana Denda kategori II, yaitu 1) tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk peradilan, 2) bersikap tidak hormat terhadap aparat, petugas, atau persidangan padahal telah diperingatkan hakim.
Berikutnya, 3) menyerang integritas aparat, petugas pengadilan, atau persidangan dalam sidang pengadilan; atau 4) tanpa izin pengadilan memublikasikan proses persidangan secara langsung.
Dengan mengatur CoC secara lengkap dan komprehensif, pembentuk KUHP nampaknya menghendaki adanya perlindungan hukum terhadap independensi dan penghormatan terhadap integritas peradilan.
Baca juga: Legislative Heavy: DPR Berkuasa dengan Tata Tertib
Terlepas dari tidak dapat dibenarkannya perilaku advokat yang menaiki meja sidang dan juga tidak absolutnya hak imunitas Advokat yang harus dilaksanakan dengan iktikad baik, mungkin kasus ini adalah peringatan dini agar kita menyadari bahwa penghormatan terhadap hukum dan peradilan tidak kalah pentingnya dari program unggulan Prabowo-Gibran.
Masih segar di ingatan kita bagaimana kehebohan ex pegawai di Mahkamah Agung yang diduga terlibat makelar kasus dengan menerima suap Rp 915 miliar dan 51 kg emas, untuk menghubungkan oknum advokat yang hendak mengurus perkara.
Kita perlu jujur mengakui bahwa wibawa peradilan sudah rusak karena perilaku korup tanpa adanya CoC sekalipun.
Sebagai penegak hukum yang bebas dan mandiri, nampaknya advokat sudah jauh dari kemuliaan profesinya (officium nobile).
Begitu gampangnya menjadi advokat, berkumpulnya advokat hanya di perkotaan besar, menjamurnya organisasi yang menyelenggarakan pendidikan dan ujian tanpa standarisasi, serta lunturnya kode etik advokat juga dapat menjadi awal runtuhnya negara hukum.
Cita-cita menjadi seorang advokat kesannya bukan lagi untuk menegakan keadilan dan menolong sesama yang miskin dan teraniaya, tapi hanya mempertontonkan keglamoran, menghalalkan segala cara untuk menang, dan bahkan menunjukkan sikap arogansi yang tidak menggambarkan harkat dan martabat dari profesi advokat yang seharusnya mulia.
Entah terinspirasi dari William Shakespeare yang mengatakan, “the first thing we do let's kill all the lawyers”, konon terdapat isu yang sejak lama berhembus bahwa terdapat “hidden agenda”, guna memastikan bahwa advokat tidak pernah boleh bersatu dan berdaulat sebagai salah satu “conditio sine qua non” dari tegaknya suatu negara hukum.
Berbeda dengan penyidik selaku penjaga pintu gerbang peradilan, jaksa yang menjalankan fungsi penuntutan, dan hakim yang akan memutus perkara, advokat adalah satu-satunya profesi yang ada di setiap tingkat sistem peradilan.
Sehingga jika hendak memperbaiki negeri ini, maka perbaikilah advokatnya terlebih dahulu, mumpung para tokoh advokat sedang dipercayakan jabatan dan kewenangan yang besar.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini