Pelabelan ini biasanya diberikan berdasarkan atribut tertentu, seperti status sosial seseorang. Ada stigma bahwa ketika seseorang dengan status ekonomi tinggi atau jabatan terhormat dianggap tidak mungkin melakukan kejahatan karena sudah memiliki semuanya.
Kemudian ada juga soal reputasi pribadi, yakni individu yang dikenal religius atau memiliki rekam jejak baik serta berprestasi di masyarakat sering kali dianggap tidak mungkin melanggar hukum.
Lalu, ada pula persepsi publik bahwa penampilan dan perilaku sehari-hari seseorang dapat memengaruhi cara masyarakat memandang kemungkinan mereka melakukan tindak pidana.
Anggapan-anggapan ini memiliki beberapa dampak signifikan dalam sistem hukum dan kehidupan sosial.
Pertama, akan muncul diskriminasi dalam proses hukum. Dalam beberapa kasus, individu dengan label "orang baik" mungkin mendapat perlakuan berbeda dalam proses hukum.
Misalnya, masyarakat, bahkan penegak hukum cenderung ragu untuk menyelidiki atau menuntut mereka karena reputasi positifnya. Akibatnya, pelaku dari kalangan tertentu dapat lolos dari pengawasan hukum.
Kedua, pengaburan fakta hukum. Anggapan ini berisiko mengaburkan fakta dalam suatu kasus.
Ketika seseorang yang dianggap "baik" diduga melakukan tindak pidana, masyarakat sering kali lebih mudah mencari pembenaran atas tindakannya, meskipun ada bukti kuat yang mendukung keterlibatannya.
Ketiga, stigma terhadap kelompok lain. Sebaliknya, pelabelan positif terhadap "orang baik" dapat memperburuk stigma terhadap individu atau kelompok yang dianggap kurang terhormat.
Orang-orang dari kalangan kurang mampu, minoritas, atau dengan latar belakang yang dianggap "bermasalah" lebih mudah dilabeli sebagai kriminal, terlepas dari bukti atau fakta yang ada.
Terkahir, kemungkinan penyalahgunaan kepercayaan. Tidak jarang, individu yang dilabeli sebagai "orang baik" justru menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan untuk melakukan tindak pidana.
Contohnya adalah kasus-kasus kejahatan kerah putih (white-collar crime), seperti korupsi atau penggelapan dana, yang sering melibatkan individu dengan reputasi baik di masyarakat.
Logika egaliter adalah cara berpikir atau pendekatan yang didasarkan pada prinsip kesetaraan (egalitarianisme). Dalam logika ini, semua individu dianggap memiliki nilai, hak, dan kedudukan setara, baik dalam hal kemanusiaan, hukum, maupun moralitas.
Logika egaliter sering kali menjadi dasar dalam membangun sistem sosial, politik, dan hukum yang adil, di mana setiap orang diperlakukan tanpa diskriminasi berdasarkan status sosial, gender, ras, agama, atau atribut lainnya.
Implementasi logika egaliter dalam hukum diterapkan melalui asas equality before the law atau kesetaraan di depan hukum.