KOMPAS.com - Sekitar 66 juta tahun lalu, kehidupan di Bumi mengalami perubahan besar. Sebuah asteroid raksasa berdiameter sekitar 12 kilometer — seukuran Gunung Everest — meluncur dengan kecepatan 43.000 km/jam dan menghantam Bumi. Tabrakan dahsyat ini memicu peristiwa kepunahan massal kelima yang melenyapkan sebagian besar dinosaurus, kecuali kelompok yang berevolusi menjadi burung.
Namun, pertanyaannya: ke mana asteroid itu sekarang?
Baca juga: Apa yang Terjadi jika Asteroid Tidak Memusnahkan Dinosaurus?
Dampak tabrakan tersebut begitu dahsyat sehingga asteroid tersebut nyaris menguap total.
“Asteroid itu pada dasarnya berubah menjadi debu halus yang naik ke atmosfer dan kemudian jatuh kembali ke seluruh planet,” jelas Sean Gulick, profesor riset sekaligus co-director Center for Planetary Systems Habitability di University of Texas, Austin.
Debu dari asteroid tersebut kemudian membentuk lapisan iridium, yaitu lapisan batuan tipis dengan kandungan logam iridium 80 kali lebih banyak daripada rata-rata kerak Bumi. Iridium adalah logam yang sangat jarang di Bumi, tetapi melimpah di asteroid — bukti kunci yang menandai tabrakan tersebut.
Baca juga: Tumbukan Asteroid atau Letusan Gunung Api, Apa yang Menyebabkan Dinosaurus Punah?
Hingga kini, hanya ada sedikit sisa asteroid yang diketahui. Frank Kyte, seorang ahli geokimia dari UCLA, menemukan serpihan seukuran biji wijen dalam sampel inti sedimen yang diambil di lepas pantai Hawaii. Temuan ini dilaporkan di jurnal Nature pada 1998. Pada 2022, ilmuwan juga mengklaim menemukan serpihan-serpihan baru, meski belum mendapat tinjauan sejawat.
Menurut Gulick, menemukan potongan besar asteroid akan sangat berharga karena dapat mengungkap lebih banyak tentang tekanan dan suhu ekstrem yang dialami asteroid saat benturan terjadi.
Baca juga: Berapa Suhu Kawah Bekas Hantaman Asteroid Pemusnah Dinosaurus?
Benturan asteroid meninggalkan jejak yang masih bisa kita lihat hingga sekarang: kawah Chicxulub. Kawah ini memiliki diameter sekitar 180 km dan kedalaman 20 km, terletak di Semenanjung Yucatán, Meksiko. Sebagian besar kawah kini terkubur di bawah sedimen dan laut, tetapi sisa-sisa tepinya bisa dilihat sebagai deretan lubang runtuhan (sinkhole).
Selain itu, benturan juga menciptakan tsunami setinggi hampir 1,5 km yang menjalar ke seluruh samudra dengan kecepatan 143 km/jam. Jejak gelombang raksasa ini, yang disebut megaripple, ditemukan di dasar laut dekat Louisiana.
Baca juga: Studi Baru Ungkap Dampak Debu Asteroid pada Kepunahan Dinosaurus
Dampak benturan bukan hanya tsunami. Gelombang kehancuran berikutnya meliputi:
Akibatnya, sekitar 75% spesies di Bumi punah, termasuk hampir semua dinosaurus non-burung.
“Energi yang dilepaskan setara dengan perang nuklir total, diulang 10.000 kali,” kata Alan Hildebrand, ilmuwan planet dari University of Calgary yang ikut menemukan kawah Chicxulub pada 1991.
Baca juga: Kepunahan Dinosaurus Terjadi karena 2 Kali Tumbukan Asteroid Besar
Bagi Hildebrand, tak mengherankan jika tabrakan itu memusnahkan mayoritas kehidupan di Bumi. Ia bahkan menunjukkan lapisan tipis dari peristiwa itu di Alberta, Kanada, setebal 1–2 cm — material yang dilempar dari Yucatán hingga ribuan kilometer jauhnya.
Peristiwa ini menjadi salah satu titik balik sejarah Bumi: mengakhiri era dinosaurus dan membuka jalan bagi mamalia, termasuk manusia, untuk mendominasi planet.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini