KOMPAS.com - Di tengah gencarnya pemerintah mendorong digitalisasi pembayaran melalui Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS), fakta di lapangan menunjukkan resistensi dari kalangan pedagang ultra mikro dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Banyak dari mereka memilih berhenti menggunakan QRIS, bahkan secara tegas menolaknya dengan salah satu kios kue basah di Pasar Klojen memasang tulisan Cash Only.
Menanggapi fenomena ini, Ekonom Universitas Brawijaya (UB), Dodi Wirawan Irawanto, berpandangan bahwa pemerintah dan regulator tidak bisa hanya fokus pada sosialisasi dan peningkatan literasi keuangan.
Menurutnya, sistem QRIS itu sendiri harus lebih adaptif terhadap kebutuhan teknis dan sosio-ekonomi para penggunanya.
"Lompatan digitalisasi keuangan Indonesia melalui QRIS sudah cukup baik, bahkan teruji saat pandemi Covid-19. Namun, seiring dinamika lingkungan, QRIS perlu lebih adaptif dengan kebutuhan masyarakat, baik dari sisi teknis maupun sosio-ekonominya," kata Dodi, Senin (22/9/2025) lalu.
Dodi mengidentifikasi beberapa alasan mendasar mengapa pedagang kecil kembali ke metode pembayaran tunai atau transfer bank konvensional.
Salah satu faktor utamanya adalah pengenaan Merchant Discount Rate (MDR) sebesar 0,3 persen hingga 0,7 persen yang berlaku sejak 2024.
"Bagi sebagian orang, potongan ini mungkin kecil. Namun bagi pelaku UMKM dengan margin keuntungan tipis dan literasi keuangan yang masih rendah, MDR adalah pemotongan langsung dari pendapatan mereka," tegas Dodi.
Baca juga: Pakar Hukum UB: Sopir Rantis Pelindas Ojol Harus Dipidana, Bukan Hanya Sanksi Etik
Faktor keamanan menjadi pukulan telak bagi kepercayaan UMKM terhadap QRIS. Dodi menyebutkan, maraknya kasus penipuan menggunakan bukti pembayaran QRIS palsu telah secara signifikan menggerus kepercayaan pedagang terhadap sistem perbankan digital.
Akibatnya, banyak pelaku UMKM memilih bertahan di zona nyaman mereka, yaitu pembayaran tunai dan transfer bank.
"Pelaku UMKM memiliki pengalaman pertama di dunia perbankan dengan metode transfer. Jadi, zona aman mereka ada di transfer dan tunai. Metode ini lebih mereka pahami dan percayai risikonya," jelasnya.
Dodi menekankan bahwa upaya pemerintah yang saat ini berfokus pada sosialisasi dan penguatan literasi keuangan tidak akan cukup jika sistemnya sendiri tidak dibenahi untuk lebih berpihak pada pengguna di level akar rumput.
Menurutnya, pembenahan teknis yang progresif harus selaras dengan kondisi sosio-ekonomi masyarakat.
"Mekanisme pembenahan teknis dan sosialisasi memang sudah berjalan. Namun, jika sistemnya dirasa masih merugikan atau berisiko tinggi, tentu masyarakat akan enggan menggunakannya," pungkas Dodi.
Pada akhirnya, keberhasilan adopsi QRIS secara menyeluruh tidak hanya bergantung pada seberapa canggih teknologinya.