KOMPAS.com - Palembang dikenal sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Selatan sekaligus kota tertua di Indonesia.
Berdasarkan catatan sejarah, kota ini diyakini berdiri sejak tahun 688 Masehi, jauh sebelum lahirnya negara Indonesia.
Pada 17 Juni 2023 lalu, Palembang merayakan hari jadinya yang ke-1.340 tahun. Julukan dan nama yang melekat pada kota ini tidak muncul begitu saja, melainkan berkaitan erat dengan kondisi alam dan sejarah panjang yang dimilikinya.
Mengutip laman resmi palembang.go.id, sebutan Palembang muncul dari kondisi topografi wilayah yang sejak dulu dikelilingi air, baik dari sungai, rawa, maupun curah hujan.
Dalam bahasa Melayu, kata Pa atau Pe bermakna penunjuk tempat atau keadaan. Sementara itu, lembang atau lembeng berarti tanah rendah atau genangan air. Maka, Palembang dimaknai sebagai wilayah yang tergenang air.
Baca juga: Tegur Pemuda Main Layang-layang, Ayah dan Anak di Palembang Ditusuk
Menurut bahasa Melayu-Palembang, lembang memang merujuk pada air yang menggenang. Karena itulah nenek moyang menamai kota ini Pa-lembang, tempat yang dikelilingi air.
Predikat Palembang sebagai kota tertua di Indonesia dibuktikan dengan penemuan Prasasti Kedukan Bukit. Peninggalan berangka tahun 16 Juni 682 M ini ditemukan di Bukit Siguntang, Palembang Barat, oleh C.J. Batenburg pada 29 November 1920.
Prasasti yang ditulis dengan aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuno itu menyebutkan pembentukan sebuah wanua atau permukiman pada 16 Juni 683 M. Dari sinilah Palembang berkembang menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi.
Catatan dalam prasasti itu menceritakan perjalanan Dapunta Hyang, Raja Sriwijaya, bersama ribuan pasukan yang datang menggunakan perahu dan berjalan kaki. Mereka kemudian mendirikan permukiman di sekitar aliran Sungai Kedukan, anak Sungai Musi, yang kelak menjadi pusat kekuasaan Sriwijaya selama berabad-abad.
Baca juga: Pria Meninggal Mendadak Saat Lari Pagi di Palembang, Polisi Beri Penjelasan
Berdasarkan catatan Kemendikbud, wilayah Palembang bagian barat diyakini pernah menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya. Hal ini ditunjukkan dengan temuan arkeologi di situs Karang Anyar, yang diduga merupakan Keraton Sriwijaya.
Di lokasi itu ditemukan saluran air yang terhubung dengan Sungai Musi, berfungsi sebagai jalur transportasi, irigasi, hingga pengendali banjir. Selain itu, berbagai peninggalan arkeologi seperti arca Hindu-Buddha, prasasti, keramik, tembikar, manik-manik, hingga struktur bata candi juga ditemukan di Palembang. Temuan ini menunjukkan bahwa sejak abad ke-7 Masehi, Palembang telah menjalin hubungan dagang dengan India, Cina, hingga Asia Timur.
Berdasarkan data Statistik 1990, hingga kini sekitar 52,24 persen wilayah Palembang masih tergenang air. Kondisi ini sejak dahulu menjadi modal besar bagi masyarakat setempat untuk memanfaatkan air sebagai jalur transportasi yang vital, efisien, dan strategis.
Posisi Palembang yang berada di jalur pertemuan tiga wilayah utama—pegunungan Bukit Barisan di barat, dataran rendah, dan pesisir timur laut—membuatnya berkembang menjadi pusat kebudayaan sekaligus ibukota Kerajaan Sriwijaya. Pada masa kejayaannya, Sriwijaya dikenal sebagai kekuatan politik dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara.
Sriwijaya tercatat sebagai port-polity, yakni pusat perdagangan sekaligus redistribusi. Catatan Tiongkok abad ke-14, Chu-Fan-Chi karya Chau Ju-Kua, menggambarkan Sriwijaya sebagai negara maritim yang menguasai jalur perdagangan di Selat Malaka.
Baca juga: Harapan Pedagang Emas di Palembang: Massa Fokus ke Tuntutan Saja, Jangan Melebar
Disebutkan bahwa pelabuhan Sriwijaya memiliki rantai besi untuk menghalau bajak laut. Perahu asing yang berlayar tanpa singgah akan diserang oleh armada kerajaan. Hal ini menjadikan Sriwijaya sebagai pusat pelayaran internasional.