KOMPAS.com - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengungkap kronologi insiden pembakaran kapal pengawas speedboat Spinner Dolphin dalam operasi pengawasan kapal mini trawl di perairan Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat (Sumbar), pada 10-12 September 2025.
Kejadian ini menjadi sorotan nasional karena menyangkut benturan kepentingan antara aparat pengawas dan nelayan pengguna alat tangkap yang dilarang.
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP, Pung Nugroho Saksono atau Ipunk, menjelaskan bahwa insiden berawal saat speedboat KKP berusaha menghentikan dan memeriksa kapal mini trawl.
Baca juga: KKP Diminta Kaji Ulang Izin Tanggul Beton Cilincing yang Dikeluhkan Nelayan
Namun, kapal tersebut kabur dan akhirnya dikandaskan oleh anak buah kapal (ABK) ke pantai.
"Selanjutnya, ABK kapal mini trawl melarikan diri ke kampung terdekat. Tidak berselang lama, massa berdatangan serta mengepung speedboat KKP, yang kemudian terjadi pembakaran," ungkap Ipunk di Jakarta, Selasa (16/9/2025) dikutip dari Antara.
Kapolsek Linggo Sari Baganti, AKP Welly Anofri, menegaskan bahwa meskipun kapal dibakar, seluruh delapan personel patroli PSDKP berhasil selamat.
"Semua personel patroli PSDKP dalam keadaan selamat dan diamankan di Mapolsek," kata Welly.
Baca juga: KKP Bangun Kampung Nelayan Merah Putih di 65 Lokasi Pada Tahun Ini
Menurut Ipunk, operasi ini merupakan tindak lanjut dari aduan masyarakat Pesisir Selatan yang resah terhadap keberadaan mini trawl.
Sebelumnya, kapal pengawas PSDKP juga sudah beberapa kali menertibkan kapal serupa, termasuk enam kapal mini trawl yang berhasil diamankan pada Mei dan Juli 2025.
"PSDKP turun melakukan penertiban trawl untuk mencegah potensi konflik horizontal antara nelayan pengguna trawl dan nelayan tradisional dengan alat tangkap ramah lingkungan," ujarnya.
Baca juga: Pagar Beton di Laut Cilincing Kantongi Izin dari KKP, Pramono: Kami Tidak Bisa Apa-apa
Trawl atau pukat harimau merupakan alat tangkap yang sudah lama dilarang karena merusak ekosistem laut.
Sistem kerjanya menyapu dasar perairan sehingga semua jenis ikan, baik besar maupun kecil, ikut tertangkap. Jika digunakan terus-menerus, hal ini akan mengancam keberlanjutan sumber daya ikan.
"Di Pantura Jawa sekitar tahun 80-an, Cirebon dikenal sebagai kota udang. Namun akibat penggunaan alat tangkap yang merusak, kini udang di sana sudah habis," ungkap Ipunk.
Baca juga: Polemik Pagar Beton di Laut Cilincing, KKP Bantah Ada Penyelewengan
Penggunaan trawl di Indonesia dilarang sejak tahun 1980 melalui Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980.
Larangan itu diperkuat dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan.