Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Sheila Maulida Fitri
Pengacara

Pengacara dan pemerhati hukum pidana siber

Kriminalisasi Guru: Hukum Pidana Tak Lagi "Ultimum Remedium"

Kompas.com - 06/11/2024, 14:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BEBERAPA tahun terakhir, para guru dan pendidik sedang dihadapkan pada fenomena kriminalisasi.

Guru yang mendisiplinkan siswanya dengan metode dalam batas wajar sesuai norma dan aturan yang berlaku, justru dituduh melakukan tindak kejahatan oleh siswa dan orangtuanya.

Sebut saja kasus guru honorer Supriyani di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara yang sedang menjalani proses persidangan.

Ia kini menjadi terdakwa atas tuduhan melakukan pemukulan terhadap siswanya. Selain Supriyani, ada banyak contoh kasus kriminalisasi guru lainnya.

Hal ini dilatarbelakangi adanya ketidaksepahaman mengenai konsep pendidikan antara guru, siswa, dan orangtuanya.

Dalam hal mendidik, mengajar, membimbing, hingga mengevaluasi siswa, guru telah diberikan kebebasan melalui undang-undang dalam memilih metode yang akan digunakan. Termasuk dalam memberikan reward dan punishment bagi siswanya.

Pemberian punishment adalah suatu keniscayaan guna melatih kedisiplinan, membentuk kepribadian serta mengajarkan konsep sebab akibat kepada siswa sepanjang dilakukan sesuai batas norma aturan yang berlaku.

Namun, ada perubahan pola hubungan guru di mana nilai-nilai etika moral mulai berkurang mengakibatkan hubungan dan penghormatan siswa terhadap guru semakin menurun. Guru sering disepelekan.

Pemerintah telah coba memberikan perlindungan yang menyatakan bahwa dalam menjalankan tugasnya, sepanjang masih sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku, maka tidak bisa dipidana.

Hal ini diakomodasi dalam Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2017 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru. Terbaru Permendikbudristek No 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

Selain itu, sesungguhnya telah ada yurisprudensi Mahkamah Agung yang menyatakan dalam pertimbanganya bahwa:

"Apa yang dilakukan terdakwa adalah sudah menjadi tugasnya dan bukan merupakan suatu tindak pidana dan terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana atas perbuatan/tindakannya tersebut karena bertujuan untuk mendidik agar menjadi murid yang baik dan berdisiplin.”

Meski begitu, nyatanya masih banyak laporan dari orangtua siswa terhadap guru atas tindakan yang sifatnya pendisiplinan dari seorang guru kepada siswanya.

Laporan tersebut justru diproses oleh aparat hukum mulai dari tingkat penyidikan di Kepolisian, Kejaksaan, bahkan diteruskan hingga proses persidangan.

Padahal pada tingkat penyidikan, aparat dituntut untuk memiliki kemampuan analisa guna membedakan mana tindakan yang memiliki mens rea (niat jahat) dan mana yang tidak.

Tahap ini memegang peranan penting dalam menyaring suatu perkara. Jika memang ditemukan mens rea, maka bisa dilanjutkan. Sebaliknya, apabila tidak ada, maka kasus bisa dihentikan.

Sementara kecenderungan saat ini semua perkara dilanjutkan sampai ke tingkat pembuktian di persidangan, sehingga membuat masyarakat merasa bahwa segala sesuatu harus diproses secara pidana.

Padahal sejatinya penerapan hukum pidana harus berdasarkan asas "Ultimum Remedium".

Asas "Ultimum Remedium" berarti norma atau kaidah dalam bidang hukum lain seperti hukum tata negara dan hukum tata usaha negara harus diselesaikan dengan penggunaan sanksi administrasi.

Begitu pula norma-norma dalam bidang hukum perdata harus diutamakan diselesaikan dengan sanksi perdata.

Namun, jika sanksi administrasi dan sanksi perdata dinilai belum cukup untuk mencapai tujuan guna menciptakan ketertiban dan menyelesaikan permasalahan di masyarakat, maka baru digunakan sanksi pidana sebagai senjata pamungkas (terakhir).

Dengan kata lain, apabila suatu perkara masih dapat diselesaikan melalui upaya hukum lain seperti cara kekeluargaan, negosiasi, mediasi, ataupun hukum administrasi, maka hendaknya jalur tersebut terlebih dahulu dilalui sebelum memutuskan menempuh penyelesaian hukum secara pidana.

Hal ini bukan tanpa alasan. Sanksi hukum pidana yang sebagian besar diterapkan adalah sanksi perampasan kemerdekaan.

Jika tidak diterapkan dengan hati-hati, maka berpotensi melanggar hak-hak konstitusional warga negara. Atas dasar itu, rentan terjadi penyalahgunaan jika tujuan pemidanaan adalah sebagai bentuk balas dendam.

Hukum pidana jadi "Primum Remedium"

Kecenderungan penegakan hukum saat ini menerapkan hukum pidana secara berlebihan (overspanning van het straftrecht). Padahal, esensi hukum pidana adalah sebagai "senjata pamungkas atau senjata terakhir" (Ultimum Remedium).

H.G de Bunt berpendapat bahwa hukum pidana dapat menjadi "Primum Remedium" (senjata pertama) hanya dalam kondisi korban atau kerugian menimbulkan dampak yang sangat besar, pelaku merupakan residivis dan kerugian tidak dapat dipulihkan.

Namun demikian, pada prinsipnya hukum pidana sudah seharusnya ditempatkan sebagai instrumen terakhir karena sejatinya hukum pidana merupakan hukum yang tajam, paling keras di antara instrumen hukum lain.

Oleh karena itu, penetapan sanksi pidana harus dilakukan secara terukur dan hati-hati karena terkait kebijakan peniadaan hak konstitusional dan hak asasi manusia seorang individu dan sebagai warga negara.

Kriminalisasi berlebihan nyatanya memunculkan permasalahan baru. Salah satunya adalah kelebihan kapasitas pada rumah tahanan (Rutan) dan lembaga pemasyarakatan yang kini mencapai angka 97 persen.

Hal ini juga membawa problem turunan seperti fenomena kerusuhan di Lapas yang berulang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Kurang maksimalnya pengawasan oleh petugas Rutan atau Lapas akibat jumlah petugas pengamanan yang tidak sebanding dengan jumlah warga binaan sehingga masih sering dijumpai adanya tindak pidana yang dikendalikan dari dalam Lapas.

Selain itu, kesehatan warga binaan tidak terjamin akibat kelebihan penghuni pada masing-masing sel. Lalu memicu timbulnya konflik antara warga binaan.

Hukum pidana sudah seharusnya diterapkan dengan memperhatikan berbagai macam faktor agar tetap menjaga dalil "Ultimum Remedium" dan tidak terjadi "over criminalization".

Yenti Garnasih berpendapat pertimbangan tersebut antara lain sebagai berikut: (i) hindari menggunakan hukum pidana untuk memidana perbuatan yang tidak jelas korban atau kerugiannya; (ii) Memperhatikan cost, tidak menggunakan hukum pidana apabila kerugian yang ditimbulkan lebih kecil daripada biaya pemidanaannya; (iii) Jangan menggunakan hukum pidana apabila tidak didukung oleh masyarakat secara kuat; (iv) Jangan menggunakan hukum pidana apabila penggunaannya diperkirakan tidak akan efektif.

Pada akhirnya sanksi hukum pidana tidak selalu menjadi solusi penyelesaian suatu masalah mengingat di dalamnya belum tentu mencapai pemulihan keadaan sebagaimana sebelum terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh Pelaku.

Oleh karena itu, konsep keadilan restoratif dinilai sangat penting dijadikan alternatif penyelesaian dan dalam rangka memulihkan kembali keadaan seperti semula sebelum terjadi suatu tindak pidana dan sebagai upaya menempatkan kembali hukum pidana sebagai senjata terakhir.

Sama halnya dengan kasus kriminalisasi guru dan pendidik, diharapkan aparat pada tingkat penyidikan mampu membedakan tindakan yang memang diniatkan sebagai suatu tindak pidana maupun upaya seorang pendidik untuk mendisiplinkan siswanya.

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau