KOMPAS.com - Pandangan kritis datang dari mantan Menkopolhukam Mahfud MD terkait sosok mantan Mendikbudristek Nadiem Makarim.
Menurut Mahfud, Nadiem Makarim memang dikenal sebagai figur yang bersih, tetapi kelemahannya ada pada pemahaman birokrasi dan tata kelola pemerintahan.
“Menurut saya, Nadiem itu orang yang bersih. Bersih, tetapi tidak paham birokrasi dan pemerintahan,” ujar Mahfud dalam podcast Terus Terang di kanal Mahfud MD Official, Rabu (10/9/2025).
Baca juga: Pengakuan Guru di Bali soal Chromebook dari Nadiem Makarim: Dapat 15, Masih Dipakai hingga Kini
Mahfud menyinggung kebiasaan Nadiem yang jarang hadir di kantor meskipun menjabat sebagai menteri.
Ia bahkan menyebut ada pejabat tinggi yang harus bertemu Nadiem di hotel karena sang menteri tidak bisa ditemui di kantornya.
Menurut Mahfud, pola pikir yang dibawa Nadiem dalam memimpin kementerian lebih mirip gaya pengusaha startup yang taktis dan instan, bukan pola birokrasi yang penuh prosedur.
Mahfud juga menceritakan pengalaman ketika Nadiem dicecar forum rektor seluruh Indonesia karena dianggap tidak pernah memberi arahan kebijakan.
Dalam rapat virtual terkait kebijakan pendidikan saat pandemi Covid-19, muncul protes dari Rektor Universitas Diponegoro.
“Saya ditegur, Alhamdulillah menteri bisa menegur kami. Selama ini kami tidak pernah (dapat arahan),” ucap Mahfud menirukan pernyataan sang rektor.
Ia kemudian mengingatkan Nadiem bahwa tugas memberi arahan kepada perguruan tinggi adalah wewenang Mendikbudristek, bukan Menkopolhukam.
Mahfud juga menyoroti kebijakan pengadaan laptop Chromebook yang kini menyeret Nadiem sebagai tersangka korupsi.
Ia menilai kebijakan itu tidak tepat sasaran karena masih banyak sekolah di daerah kekurangan fasilitas dasar.
“Masih ada anak-anak sekolah yang harus menyeberang dengan tali yang kalau jatuh bisa mati. Masalah itu dulu yang harus diselesaikan, bukan Chromebook,” tegas Mahfud.
Nadiem telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook pada program digitalisasi pendidikan.
Menurut Kejaksaan Agung, kebijakan Permendikbud Nomor 5 Tahun 2021 mengunci penggunaan sistem operasi Chrome OS, sehingga diduga merugikan negara hingga Rp 1,98 triliun.