Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Masa depan "Justice Collaborator" dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Peran mereka, meskipun seringkali kontroversial, terbukti efektif dalam membongkar jaringan kejahatan yang sulit dijangkau oleh metode penyelidikan konvensional.

Namun, selama ini justice collaborator belum optimal dalam membantu mengungkapkan kejahatan antara lain karena belum ada jaminan perlindungan terhadap mereka.

Dalam beberapa kasus JC bahkan seperti mengorbankan diri sendiri untuk bertanggung jawab atas kejahatan yang terjadi.

Di Indonesia, keberadaan justice collaborator semakin menguat dengan lahirnya payung hukum seperti Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2025.

Beberapa contoh kasus yang melibatkan peran justice collaborator:

Pertama, kasus korupsi e-KTP. Irman dan Sugiharto, yang menjabat di Kementerian Dalam Negeri, ditetapkan sebagai JC karena memberikan keterangan dan bukti signifikan dalam mengungkap skema korupsi proyek e-KTP.

Keterangan mereka membantu membongkar praktik korupsi yang melibatkan banyak pihak, termasuk pejabat tinggi dan pihak swasta.

Kedua, kasus suap red notice Djoko Tjandra. Tommy Sumardi, yang berperan sebagai perantara suap, mengajukan diri sebagai JC dalam kasus ini memberikan informasi dan bukti terkait pemberian suap kepada oknum Polri agar red notice atas nama Djoko Tjandra dihapus.

Ketiga, kasus penggelapan pajak Asian Agri juga melibatkan peran JC, meskipun rinciannya tidak sepopuler kasus e-KTP dan Djoko Tjandra.

Keempat, kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua Hutabarat. Richard Eliezer mengajukan diri sebagai JC dalam kasus ini.

Keterangannya membantu mengungkap fakta-fakta terkait pembunuhan berencana yang melibatkan mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo.

Sejarah dan perkembangan justice collaborator di Indonesia

Gagasan mengenai individu yang terlibat dalam kejahatan, tapi bersedia "bernyanyi" untuk mengungkap kejahatan yang lebih besar, bukanlah hal baru dalam praktik penegakan hukum internasional.

Di Amerika Serikat, konsep ini dikenal dengan "witness immunity" atau "plea bargaining", di mana seorang pelaku dapat diberikan kekebalan dari tuntutan atau keringanan hukuman sebagai imbalan atas kerja samanya.

Adaptasi konsep ini di Indonesia berawal dari kebutuhan mendesak untuk memberantas kejahatan luar biasa (extraordinary) seperti korupsi, terorisme, dan narkotika, yang memiliki karakteristik terorganisir, transnasional, dan sangat sulit dibongkar tanpa informasi dari "orang dalam".

Cikal bakal pengakuan justice collaborator di Indonesia dapat ditelusuri dari berbagai peraturan perundang-undangan sektoral.

Misalnya, dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), Pasal 37 Ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001 memberikan diskresi kepada hakim untuk mempertimbangkan status seseorang yang mengembalikan kerugian negara sebagai faktor meringankan.

Namun, payung hukum yang lebih komprehensif baru muncul dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK).

Undang-undang ini kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, yang secara eksplisit mengakomodasi perlindungan bagi Saksi Pelaku (justice collaborator).

Dalam perkembangannya, munculnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai lembaga independen yang diberikan mandat untuk melindungi saksi dan korban, termasuk justice collaborator, menjadi krusial.

LPSK bertugas memberikan perlindungan fisik, psikologis, dan hukum, serta memfasilitasi pemberian keringanan tuntutan/pidana.

Puncaknya, Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2025 tentang Perlindungan Saksi dan Korban hadir sebagai regulasi pelaksana yang lebih detail.

PP ini secara rigid mengatur kriteria seorang individu untuk dapat ditetapkan sebagai justice collaborator, syarat-syarat perlindungan, hingga mekanisme koordinasi dengan penegak hukum lainnya.

PP 24/2025 memperjelas bahwa seorang justice collaborator bukanlah pelaku utama dan informasi yang diberikan harus signifikan dalam mengungkap kejahatan lebih besar.

Perkembangan ini menunjukkan komitmen negara untuk menjadikan justice collaborator sebagai alat sah dan efektif dalam memerangi kejahatan.

Berdasarkan informasi dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2025 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, seorang justice collaborator (saksi pelaku) memiliki hak-hak dan penanganan khusus meliputi:

Pertama, penanganan khusus dalam proses pemeriksaan.

  • Pemisahan pemberkasan: Berkas justice collaborator dapat dipisahkan dari berkas tersangka dan terdakwa lain dalam proses penyidikan dan penuntutan.
  • Kesaksian tanpa berhadapan langsung: Justice collaborator dapat memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.

Kedua, penghargaan atas kesaksian yang diberikan.

  • Keringanan penjatuhan pidana: Ini adalah penghargaan utama yang dapat diberikan kepada justice collaborator atas kerjasamanya.
  • Pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain: Bagi justice collaborator yang berstatus narapidana, mereka dapat memperoleh pembebasan bersyarat, remisi tambahan, serta hak-hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

JC dalam perspektif KPK

Bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), justice collaborator menjadi salah satu senjata rahasia yang paling ampuh dalam membongkar kasus-kasus korupsi.

Karakteristik kejahatan korupsi yang seringkali melibatkan jaringan tersembunyi, transaksi di bawah tangan, dan upaya sistematis untuk menghilangkan jejak, membuat informasi dari "orang dalam" menjadi sangat berharga.

KPK secara aktif menggunakan skema justice collaborator sejak awal berdirinya, bahkan sebelum adanya payung hukum yang sekomprehensif sekarang.

KPK memandang justice collaborator sebagai kunci pembuka kotak pandora kejahatan korupsi. Mereka adalah individu yang terlibat dalam pusaran korupsi, tapi karena berbagai alasan (misalnya tekanan hukum, ancaman, atau kesadaran), memutuskan untuk bekerja sama.

Keterangan mereka seringkali menjadi titik tolak (starting point) untuk melakukan pengembangan penyelidikan.

Misalnya, seorang staf keuangan yang terlibat dalam pengaturan proyek fiktif bisa menjadi justice collaborator yang mengungkap siapa saja pejabat yang terlibat, berapa besaran suapnya, dan bagaimana aliran dana dikirimkan. Tanpa informasi ini, upaya pembuktian mungkin akan sangat sulit atau bahkan mustahil.

Selama ini, KPK sudah menggunakan JC guna pembongkaran kasus korupsi skala besar. Banyak kasus korupsi proyek infrastruktur, pengadaan barang dan jasa, hingga suap dalam penegakan hukum, berhasil dibongkar setelah adanya justice collaborator yang memberikan informasi rinci tentang keterlibatan aktor-aktor kelas kakap, termasuk politisi, birokrat, dan pengusaha.

Termasuk juga pengungkapan jaringan dan modus operandi. Justice collaborator memberikan gambaran lengkap tentang bagaimana jaringan korupsi beroperasi, termasuk modus pencucian uang, penyembunyian aset, dan komunikasi rahasia.

Ini membantu KPK dalam mengembangkan pola-pola kejahatan dan melakukan pencegahan di masa depan.

Hal yang paling berharga bahwa melalui justice collaborator seringkali krusial dalam melacak aset-aset hasil korupsi yang disembunyikan.

KPK sangat menekankan peran justice collaborator dalam membantu pengembalian kerugian negara sebagai salah satu syarat utama untuk mendapatkan rekomendasi keringanan hukuman.

Pemanfaatan justice collaborator oleh KPK tidak hanya efektif dalam pengungkapan kasus, tetapi juga berkontribusi pada efisiensi penegakan hukum.

Dengan adanya justice collaborator, penyidikan bisa lebih cepat mengarah pada bukti-bukti kunci, mengurangi waktu dan sumber daya yang terbuang.

Di sisi lain, pengalaman di lapangan juga menunjukkan kompleksitas dalam pengelolaan justice collaborator.

LPSK telah berupaya keras memberikan perlindungan maksimal, mulai dari penempatan di rumah aman, pengamanan identitas, hingga bantuan hukum dan psikologis.

Namun, ancaman terhadap justice collaborator dan keluarganya seringkali tidak berhenti setelah putusan pengadilan.

Kebutuhan akan perlindungan jangka panjang dan program rehabilitasi sosial bagi mereka pasca-hukuman menjadi isu krusial yang belum sepenuhnya teratasi.

Pengalaman ini menegaskan bahwa menjadi seorang justice collaborator adalah keputusan besar yang melibatkan risiko tinggi.

Hambatan implementasi justice collaborator

Meskipun memiliki potensi besar, implementasi justice collaborator di Indonesia tidak luput dari berbagai kendala dan hambatan yang kompleks.

Pertama, kerangka hukum dan Interpretasi

Definisi dan kriteria yang belum sepenuhnya senada. Meskipun PP No. 24 Tahun 2025 telah memperjelas, masih ada potensi perbedaan interpretasi antara penegak hukum (penyidik, penuntut, dan hakim) mengenai siapa yang memenuhi syarat sebagai justice collaborator.

Misalnya, sejauh mana seseorang dianggap "bukan pelaku utama" atau seberapa signifikan informasi yang diberikan. Hal ini dapat menimbulkan inkonsistensi dalam penetapan status dan pemberian keringanan.

KPK, misalnya, memiliki kriteria internal yang ketat untuk menentukan seorang justice collaborator, yang kadang harus disinkronkan dengan pemahaman di kejaksaan atau pengadilan.

Kekuatan pembuktian keterangan JC. Keterangan justice collaborator seringkali menjadi alat bukti petunjuk. Namun, tanpa didukung oleh alat bukti lain yang kuat, keterangan tersebut bisa dianggap lemah atau bahkan dicurigai sebagai rekayasa.

KUHAP saat ini belum secara eksplisit mengatur tata cara penggunaan dan penilaian keterangan justice collaborator, sehingga seringkali diserahkan pada diskresi hakim. Ini menjadi celah yang perlu diisi oleh RUU KUHAP.

Bagi KPK, tantangan terbesar adalah bagaimana memastikan keterangan justice collaborator valid dan dapat dikuatkan dengan bukti-bukti lain, agar tidak menjadi satu-satunya dasar penuntutan.

Konflik norma hukum. Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa pemberian keringanan hukuman kepada justice collaborator dapat bertentangan dengan prinsip kesamaan di hadapan hukum atau keadilan retributif.

Harmonisasi antara tujuan pemberantasan kejahatan dan prinsip-prinsip keadilan dalam hukum pidana merupakan tantangan besar.

Kedua, masa depan JC: Koordinasi antar-lembaga

Manajemen perlindungan yang kompleks. Memberikan perlindungan fisik dan psikis yang efektif kepada justice collaborator dan keluarganya memerlukan sumber daya besar dan koordinasi yang sangat baik antara LPSK, kepolisian, kejaksaan, dan lembaga pemasyarakatan.

Program perlindungan berkelanjutan, terutama pasca-hukuman, masih menjadi tantangan logistik dan finansial.

Ketersediaan fasilitas dan sumber daya LPSK. Meskipun LPSK telah menunjukkan kinerja yang baik, keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia seringkali menjadi kendala dalam menjangkau dan melindungi semua justice collaborator yang membutuhkan.

Kepercayaan dan rasa aman. Membangun kepercayaan antara penegak hukum dan calon justice collaborator merupakan hal yang sulit.

Adanya kekhawatiran terkait kebocoran informasi atau ketidakmampuan aparat dalam menjaga kerahasiaan identitas dan keselamatan justice collaborator dapat menjadi penghalang bagi mereka untuk mau bekerja sama.

Dari sisi KPK, membangun kepercayaan adalah langkah awal yang krusial agar calon justice collaborator bersedia "membuka diri".

Koordinasi lintas instansi. Keterlibatan justice collaborator seringkali memerlukan koordinasi yang mulus antara penyidik (polisi/KPK), penuntut umum, LPSK, hingga hakim.

Kurangnya pedoman operasional standar yang mengikat semua pihak dapat menyebabkan proses yang tidak efisien atau bahkan hambatan hukum.

KPK sering dihadapkan pada tantangan koordinasi ini, terutama dalam hal menyamakan persepsi dan prosedur dengan kejaksaan dan pengadilan terkait status dan rekomendasi keringanan bagi justice collaborator.

Peluang dalam RUU KUHAP yang sedang dalam pembahasan merupakan momentum krusial untuk memperkuat posisi justice collaborator dalam sistem peradilan pidana Indonesia antara lain menyangkut:

  • Legitimasi hukum yang lebih kuat. RUU KUHAP dapat memberikan legitimasi hukum yang lebih kuat dan eksplisit bagi justice collaborator dengan memasukkan ketentuan-ketentuan yang mengatur secara rinci proses penetapan, hak, kewajiban, dan perlindungan mereka. Ini akan mengurangi ambiguitas dan inkonsistensi dalam praktik.
  • Harmonisasi prosedur. RUU KUHAP dapat menyelaraskan prosedur penanganan justice collaborator di setiap tahapan proses pidana (penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan persidangan). Ini termasuk pengaturan mengenai kesepakatan kerja sama (plea bargaining yang terstandardisasi), penilaian alat bukti keterangan justice collaborator, dan mekanisme pemberian rekomendasi keringanan pidana. Harmonisasi ini sangat dinantikan KPK agar tidak ada lagi perbedaan pandangan dengan penuntut dan hakim terkait peran dan bobot keterangan justice collaborator.
  • Penguatan peran LPSK. RUU KUHAP dapat lebih memperkuat peran LPSK sebagai koordinator utama dalam perlindungan justice collaborator, dengan memberikan kewenangan yang lebih luas dan anggaran yang memadai untuk melaksanakan tugasnya.
  • Pemulihan Aset dan Kerugian Negara: RUU KUHAP dapat mengintegrasikan secara lebih kuat ketentuan yang mewajibkan justice collaborator untuk mengembalikan aset hasil kejahatan sebagai salah satu syarat mutlak pemberian keringanan pidana. Hal ini akan memaksimalkan upaya pemulihan kerugian negara. KPK sangat mendorong ketentuan ini agar justice collaborator tidak hanya mengungkap kejahatan, tetapi juga membantu memulihkan kerugian negara.
  • Peningkatan efektivitas penegakan hukum: Dengan payung hukum yang lebih jelas dan prosedur yang harmonis, justice collaborator akan menjadi instrumen yang semakin efektif dalam membongkar kejahatan terorganisir dan korupsi yang kompleks, sehingga meningkatkan tingkat keberhasilan penegakan hukum secara keseluruhan.

Perjalanan justice collaborator di Indonesia, dari pengakuan sporadis hingga diakomodasi secara komprehensif dalam PP No. 24 Tahun 2025, mencerminkan evolusi sistem peradilan pidana yang adaptif terhadap tantangan kejahatan modern.

Pengalaman selama ini, khususnya dari perspektif KPK, membuktikan efektivitas justice collaborator dalam membongkar kejahatan luar biasa, terutama korupsi yang kompleks.

Namun, di balik keberhasilan tersebut, terdapat sejumlah kendala dan hambatan yang kompleks, mulai dari isu legalitas, koordinasi antar-lembaga, hingga tantangan psikologis dan sosial.

RUU KUHAP memiliki peluang emas untuk mengukuhkan posisi justice collaborator sebagai instrumen yang integral dan efektif dalam sistem peradilan pidana Indonesia.

Dengan menyusun ketentuan yang jelas, komprehensif, dan harmonis, RUU KUHAP dapat mengatasi kendala-kendala yang ada, memperkuat perlindungan bagi justice collaborator, sekaligus memastikan bahwa pemberian keringanan hukuman tetap sejalan dengan prinsip keadilan.

Keberhasilan implementasi justice collaborator di masa depan sangat bergantung pada sinergi antara kerangka hukum yang kuat dan komitmen seluruh elemen penegak hukum untuk menjaga integritas dan profesionalisme.

Hanya dengan demikian, justice collaborator dapat terus menjadi mercusuar harapan dalam upaya mewujudkan keadilan dan memberantas kejahatan di Indonesia.

https://www.kompas.com/konsultasihukum/read/2025/06/28/125226280/masa-depan-justice-collaborator-dalam-sistem-peradilan-pidana

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke