Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Prof. Dr. Hamidah Abdurrachman
Pakar Hukum Pidana

Pakar Hukum Pidana, peneliti, pengamat Kepolisian dan aktivis pelayanan hak-hak perempuan dan anak

Masa depan "Justice Collaborator" dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Kompas.com - 28/06/2025, 12:52 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KONSEP justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama telah menjadi salah satu instrumen vital dalam perang melawan kejahatan terorganisir dan korupsi di berbagai belahan dunia.

Peran mereka, meskipun seringkali kontroversial, terbukti efektif dalam membongkar jaringan kejahatan yang sulit dijangkau oleh metode penyelidikan konvensional.

Namun, selama ini justice collaborator belum optimal dalam membantu mengungkapkan kejahatan antara lain karena belum ada jaminan perlindungan terhadap mereka.

Dalam beberapa kasus JC bahkan seperti mengorbankan diri sendiri untuk bertanggung jawab atas kejahatan yang terjadi.

Di Indonesia, keberadaan justice collaborator semakin menguat dengan lahirnya payung hukum seperti Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2025.

Beberapa contoh kasus yang melibatkan peran justice collaborator:

Pertama, kasus korupsi e-KTP. Irman dan Sugiharto, yang menjabat di Kementerian Dalam Negeri, ditetapkan sebagai JC karena memberikan keterangan dan bukti signifikan dalam mengungkap skema korupsi proyek e-KTP.

Baca juga: RUU KUHAP Akan Atur Perlindungan Justice Collaborator

Keterangan mereka membantu membongkar praktik korupsi yang melibatkan banyak pihak, termasuk pejabat tinggi dan pihak swasta.

Kedua, kasus suap red notice Djoko Tjandra. Tommy Sumardi, yang berperan sebagai perantara suap, mengajukan diri sebagai JC dalam kasus ini memberikan informasi dan bukti terkait pemberian suap kepada oknum Polri agar red notice atas nama Djoko Tjandra dihapus.

Ketiga, kasus penggelapan pajak Asian Agri juga melibatkan peran JC, meskipun rinciannya tidak sepopuler kasus e-KTP dan Djoko Tjandra.

Keempat, kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua Hutabarat. Richard Eliezer mengajukan diri sebagai JC dalam kasus ini.

Keterangannya membantu mengungkap fakta-fakta terkait pembunuhan berencana yang melibatkan mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo.

Sejarah dan perkembangan justice collaborator di Indonesia

Gagasan mengenai individu yang terlibat dalam kejahatan, tapi bersedia "bernyanyi" untuk mengungkap kejahatan yang lebih besar, bukanlah hal baru dalam praktik penegakan hukum internasional.

Di Amerika Serikat, konsep ini dikenal dengan "witness immunity" atau "plea bargaining", di mana seorang pelaku dapat diberikan kekebalan dari tuntutan atau keringanan hukuman sebagai imbalan atas kerja samanya.

Adaptasi konsep ini di Indonesia berawal dari kebutuhan mendesak untuk memberantas kejahatan luar biasa (extraordinary) seperti korupsi, terorisme, dan narkotika, yang memiliki karakteristik terorganisir, transnasional, dan sangat sulit dibongkar tanpa informasi dari "orang dalam".

Cikal bakal pengakuan justice collaborator di Indonesia dapat ditelusuri dari berbagai peraturan perundang-undangan sektoral.

Misalnya, dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), Pasal 37 Ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001 memberikan diskresi kepada hakim untuk mempertimbangkan status seseorang yang mengembalikan kerugian negara sebagai faktor meringankan.

Namun, payung hukum yang lebih komprehensif baru muncul dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK).

Baca juga: Pemerintah Ungkap 9 Poin Penguatan di Dalam DIM RUU KUHAP

Undang-undang ini kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, yang secara eksplisit mengakomodasi perlindungan bagi Saksi Pelaku (justice collaborator).

Dalam perkembangannya, munculnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai lembaga independen yang diberikan mandat untuk melindungi saksi dan korban, termasuk justice collaborator, menjadi krusial.

LPSK bertugas memberikan perlindungan fisik, psikologis, dan hukum, serta memfasilitasi pemberian keringanan tuntutan/pidana.

Puncaknya, Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2025 tentang Perlindungan Saksi dan Korban hadir sebagai regulasi pelaksana yang lebih detail.

PP ini secara rigid mengatur kriteria seorang individu untuk dapat ditetapkan sebagai justice collaborator, syarat-syarat perlindungan, hingga mekanisme koordinasi dengan penegak hukum lainnya.

PP 24/2025 memperjelas bahwa seorang justice collaborator bukanlah pelaku utama dan informasi yang diberikan harus signifikan dalam mengungkap kejahatan lebih besar.

Perkembangan ini menunjukkan komitmen negara untuk menjadikan justice collaborator sebagai alat sah dan efektif dalam memerangi kejahatan.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau