Berdasarkan informasi dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2025 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, seorang justice collaborator (saksi pelaku) memiliki hak-hak dan penanganan khusus meliputi:
Pertama, penanganan khusus dalam proses pemeriksaan.
Kedua, penghargaan atas kesaksian yang diberikan.
Bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), justice collaborator menjadi salah satu senjata rahasia yang paling ampuh dalam membongkar kasus-kasus korupsi.
Karakteristik kejahatan korupsi yang seringkali melibatkan jaringan tersembunyi, transaksi di bawah tangan, dan upaya sistematis untuk menghilangkan jejak, membuat informasi dari "orang dalam" menjadi sangat berharga.
KPK secara aktif menggunakan skema justice collaborator sejak awal berdirinya, bahkan sebelum adanya payung hukum yang sekomprehensif sekarang.
KPK memandang justice collaborator sebagai kunci pembuka kotak pandora kejahatan korupsi. Mereka adalah individu yang terlibat dalam pusaran korupsi, tapi karena berbagai alasan (misalnya tekanan hukum, ancaman, atau kesadaran), memutuskan untuk bekerja sama.
Keterangan mereka seringkali menjadi titik tolak (starting point) untuk melakukan pengembangan penyelidikan.
Baca juga: Aparat Penegak Hukum Diminta Tak Saling Intervensi dalam Proses Revisi KUHAP
Misalnya, seorang staf keuangan yang terlibat dalam pengaturan proyek fiktif bisa menjadi justice collaborator yang mengungkap siapa saja pejabat yang terlibat, berapa besaran suapnya, dan bagaimana aliran dana dikirimkan. Tanpa informasi ini, upaya pembuktian mungkin akan sangat sulit atau bahkan mustahil.
Selama ini, KPK sudah menggunakan JC guna pembongkaran kasus korupsi skala besar. Banyak kasus korupsi proyek infrastruktur, pengadaan barang dan jasa, hingga suap dalam penegakan hukum, berhasil dibongkar setelah adanya justice collaborator yang memberikan informasi rinci tentang keterlibatan aktor-aktor kelas kakap, termasuk politisi, birokrat, dan pengusaha.
Termasuk juga pengungkapan jaringan dan modus operandi. Justice collaborator memberikan gambaran lengkap tentang bagaimana jaringan korupsi beroperasi, termasuk modus pencucian uang, penyembunyian aset, dan komunikasi rahasia.
Ini membantu KPK dalam mengembangkan pola-pola kejahatan dan melakukan pencegahan di masa depan.
Hal yang paling berharga bahwa melalui justice collaborator seringkali krusial dalam melacak aset-aset hasil korupsi yang disembunyikan.
KPK sangat menekankan peran justice collaborator dalam membantu pengembalian kerugian negara sebagai salah satu syarat utama untuk mendapatkan rekomendasi keringanan hukuman.
Pemanfaatan justice collaborator oleh KPK tidak hanya efektif dalam pengungkapan kasus, tetapi juga berkontribusi pada efisiensi penegakan hukum.
Dengan adanya justice collaborator, penyidikan bisa lebih cepat mengarah pada bukti-bukti kunci, mengurangi waktu dan sumber daya yang terbuang.
Di sisi lain, pengalaman di lapangan juga menunjukkan kompleksitas dalam pengelolaan justice collaborator.
LPSK telah berupaya keras memberikan perlindungan maksimal, mulai dari penempatan di rumah aman, pengamanan identitas, hingga bantuan hukum dan psikologis.
Namun, ancaman terhadap justice collaborator dan keluarganya seringkali tidak berhenti setelah putusan pengadilan.
Kebutuhan akan perlindungan jangka panjang dan program rehabilitasi sosial bagi mereka pasca-hukuman menjadi isu krusial yang belum sepenuhnya teratasi.
Pengalaman ini menegaskan bahwa menjadi seorang justice collaborator adalah keputusan besar yang melibatkan risiko tinggi.
Meskipun memiliki potensi besar, implementasi justice collaborator di Indonesia tidak luput dari berbagai kendala dan hambatan yang kompleks.
Pertama, kerangka hukum dan Interpretasi
Definisi dan kriteria yang belum sepenuhnya senada. Meskipun PP No. 24 Tahun 2025 telah memperjelas, masih ada potensi perbedaan interpretasi antara penegak hukum (penyidik, penuntut, dan hakim) mengenai siapa yang memenuhi syarat sebagai justice collaborator.
Misalnya, sejauh mana seseorang dianggap "bukan pelaku utama" atau seberapa signifikan informasi yang diberikan. Hal ini dapat menimbulkan inkonsistensi dalam penetapan status dan pemberian keringanan.