Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Prof. Dr. Hamidah Abdurrachman
Pakar Hukum Pidana

Pakar Hukum Pidana, peneliti, pengamat Kepolisian dan aktivis pelayanan hak-hak perempuan dan anak

Masa depan "Justice Collaborator" dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Kompas.com - 28/06/2025, 12:52 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KPK, misalnya, memiliki kriteria internal yang ketat untuk menentukan seorang justice collaborator, yang kadang harus disinkronkan dengan pemahaman di kejaksaan atau pengadilan.

Kekuatan pembuktian keterangan JC. Keterangan justice collaborator seringkali menjadi alat bukti petunjuk. Namun, tanpa didukung oleh alat bukti lain yang kuat, keterangan tersebut bisa dianggap lemah atau bahkan dicurigai sebagai rekayasa.

KUHAP saat ini belum secara eksplisit mengatur tata cara penggunaan dan penilaian keterangan justice collaborator, sehingga seringkali diserahkan pada diskresi hakim. Ini menjadi celah yang perlu diisi oleh RUU KUHAP.

Bagi KPK, tantangan terbesar adalah bagaimana memastikan keterangan justice collaborator valid dan dapat dikuatkan dengan bukti-bukti lain, agar tidak menjadi satu-satunya dasar penuntutan.

Konflik norma hukum. Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa pemberian keringanan hukuman kepada justice collaborator dapat bertentangan dengan prinsip kesamaan di hadapan hukum atau keadilan retributif.

Harmonisasi antara tujuan pemberantasan kejahatan dan prinsip-prinsip keadilan dalam hukum pidana merupakan tantangan besar.

Kedua, masa depan JC: Koordinasi antar-lembaga

Manajemen perlindungan yang kompleks. Memberikan perlindungan fisik dan psikis yang efektif kepada justice collaborator dan keluarganya memerlukan sumber daya besar dan koordinasi yang sangat baik antara LPSK, kepolisian, kejaksaan, dan lembaga pemasyarakatan.

Program perlindungan berkelanjutan, terutama pasca-hukuman, masih menjadi tantangan logistik dan finansial.

Ketersediaan fasilitas dan sumber daya LPSK. Meskipun LPSK telah menunjukkan kinerja yang baik, keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia seringkali menjadi kendala dalam menjangkau dan melindungi semua justice collaborator yang membutuhkan.

Kepercayaan dan rasa aman. Membangun kepercayaan antara penegak hukum dan calon justice collaborator merupakan hal yang sulit.

Adanya kekhawatiran terkait kebocoran informasi atau ketidakmampuan aparat dalam menjaga kerahasiaan identitas dan keselamatan justice collaborator dapat menjadi penghalang bagi mereka untuk mau bekerja sama.

Dari sisi KPK, membangun kepercayaan adalah langkah awal yang krusial agar calon justice collaborator bersedia "membuka diri".

Koordinasi lintas instansi. Keterlibatan justice collaborator seringkali memerlukan koordinasi yang mulus antara penyidik (polisi/KPK), penuntut umum, LPSK, hingga hakim.

Kurangnya pedoman operasional standar yang mengikat semua pihak dapat menyebabkan proses yang tidak efisien atau bahkan hambatan hukum.

KPK sering dihadapkan pada tantangan koordinasi ini, terutama dalam hal menyamakan persepsi dan prosedur dengan kejaksaan dan pengadilan terkait status dan rekomendasi keringanan bagi justice collaborator.

Peluang dalam RUU KUHAP yang sedang dalam pembahasan merupakan momentum krusial untuk memperkuat posisi justice collaborator dalam sistem peradilan pidana Indonesia antara lain menyangkut:

  • Legitimasi hukum yang lebih kuat. RUU KUHAP dapat memberikan legitimasi hukum yang lebih kuat dan eksplisit bagi justice collaborator dengan memasukkan ketentuan-ketentuan yang mengatur secara rinci proses penetapan, hak, kewajiban, dan perlindungan mereka. Ini akan mengurangi ambiguitas dan inkonsistensi dalam praktik.
  • Harmonisasi prosedur. RUU KUHAP dapat menyelaraskan prosedur penanganan justice collaborator di setiap tahapan proses pidana (penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan persidangan). Ini termasuk pengaturan mengenai kesepakatan kerja sama (plea bargaining yang terstandardisasi), penilaian alat bukti keterangan justice collaborator, dan mekanisme pemberian rekomendasi keringanan pidana. Harmonisasi ini sangat dinantikan KPK agar tidak ada lagi perbedaan pandangan dengan penuntut dan hakim terkait peran dan bobot keterangan justice collaborator.
  • Penguatan peran LPSK. RUU KUHAP dapat lebih memperkuat peran LPSK sebagai koordinator utama dalam perlindungan justice collaborator, dengan memberikan kewenangan yang lebih luas dan anggaran yang memadai untuk melaksanakan tugasnya.
  • Pemulihan Aset dan Kerugian Negara: RUU KUHAP dapat mengintegrasikan secara lebih kuat ketentuan yang mewajibkan justice collaborator untuk mengembalikan aset hasil kejahatan sebagai salah satu syarat mutlak pemberian keringanan pidana. Hal ini akan memaksimalkan upaya pemulihan kerugian negara. KPK sangat mendorong ketentuan ini agar justice collaborator tidak hanya mengungkap kejahatan, tetapi juga membantu memulihkan kerugian negara.
  • Peningkatan efektivitas penegakan hukum: Dengan payung hukum yang lebih jelas dan prosedur yang harmonis, justice collaborator akan menjadi instrumen yang semakin efektif dalam membongkar kejahatan terorganisir dan korupsi yang kompleks, sehingga meningkatkan tingkat keberhasilan penegakan hukum secara keseluruhan.

Perjalanan justice collaborator di Indonesia, dari pengakuan sporadis hingga diakomodasi secara komprehensif dalam PP No. 24 Tahun 2025, mencerminkan evolusi sistem peradilan pidana yang adaptif terhadap tantangan kejahatan modern.

Pengalaman selama ini, khususnya dari perspektif KPK, membuktikan efektivitas justice collaborator dalam membongkar kejahatan luar biasa, terutama korupsi yang kompleks.

Namun, di balik keberhasilan tersebut, terdapat sejumlah kendala dan hambatan yang kompleks, mulai dari isu legalitas, koordinasi antar-lembaga, hingga tantangan psikologis dan sosial.

RUU KUHAP memiliki peluang emas untuk mengukuhkan posisi justice collaborator sebagai instrumen yang integral dan efektif dalam sistem peradilan pidana Indonesia.

Dengan menyusun ketentuan yang jelas, komprehensif, dan harmonis, RUU KUHAP dapat mengatasi kendala-kendala yang ada, memperkuat perlindungan bagi justice collaborator, sekaligus memastikan bahwa pemberian keringanan hukuman tetap sejalan dengan prinsip keadilan.

Keberhasilan implementasi justice collaborator di masa depan sangat bergantung pada sinergi antara kerangka hukum yang kuat dan komitmen seluruh elemen penegak hukum untuk menjaga integritas dan profesionalisme.

Hanya dengan demikian, justice collaborator dapat terus menjadi mercusuar harapan dalam upaya mewujudkan keadilan dan memberantas kejahatan di Indonesia.

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau