Alasannya, advokat tidak memiliki kewenangan untuk melakukan upaya paksa, misalnya melakukan penahanan sebagaimana yang dimiliki oleh trio aparat penegak hukum lainnya (penyidik, penuntut umum, dan hakim).
Secara hukum, UU Advokat seolah-olah mengandung dualisme. Di satu sisi, definisi advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Sedangkan “penyematan” status advokat sebagai penegak hukum sebagaimana dimaksud Pasal 5 UU Advokat, realitanya dianggap masih jauh dari atribusi formal tersebut.
Baca juga: RUU KUHAP Perluas Peran Advokat, Bisa Dampingi Saksi dan Sampaikan Keberatan
Dari penelusuran yang dilakukan penulis, istilah advokat memiliki padanan kata dalam bahasa Yunani, yaitu "Parakletos", yang dalam bahasa latin berbunyi, “Et ego rogabo Patrem et alium Paracletum dabit vobis ut maneat vobiscum in aeternum” (Secundum Ioannem 14:16). Artinya adalah seorang pribadi yang diberikan sebagai penolong dan pembela yang menyertai kita.
Untuk itu, sudah tepat penggantian istilah “penasihat hukum” dari KUHAP saat ini menjadi “advokat” dalam RUU KUHAP. Namun, penegasan fungsi dan peran advokat sebagai penegak hukum harus dioptimalkan sebagai wujud checks and balances dalam suatu sistem peradilan pidana terpadu.
Dengan tidak dipilihnya model hakim komisaris atau hakim pemeriksaan pendahuluan untuk menjalankan fungsi pengawasan yudisial (judicial scrutiny), maka satu-satunya fungsi kontrol eksternal terhadap kewenangan aparat penegak hukum yang rentan disalahgunakan dalam RUU KUHAP hanyalah mungkin dilakukan melalui peran advokat yang profesional dan berintegritas.
Untuk mengoptimalkan fungsi dan peran advokat dalam RUU KUHAP, penulis merasa perlu menyampaikan beberapa usulan yang relevan.
Pertama, dalam Pasal 140 RUU KUHAP perlu ada penegasan bahwa advokat merupakan penegak hukum yang menjalankan tugas dan fungsi untuk melakukan pembelaan dan pendampingan bagi seseorang yang sedang menjalani proses peradilan pidana.
Hal ini penting agar dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik, maka advokat yang berstatus sebagai penegak hukum memiliki hak imunitas yang tidak dapat dituntut, baik secara pidana maupun perdata.
Penilaian soal iktikad baik tersebut haruslah ditentukan berdasarkan keputusan organisasi advokat sesuai Kode Etik Advokat.
Kedua, sebagai penegak hukum yang bertugas mendampingi, membela dan memastikan pemenuhan hak asasi dari saksi, tersangka, dan terdakwa, maka kewenangan advokat perlu dioptimalkan dalam gelar perkara, penetapan saksi mahkota, dan kesepakatan dalam proses hukum pidana (Plea Bargaining/ Deferred Prosecution Agreement), termasuk untuk membuat resume fakta dan bukti yang menjadi ad informandum dari suatu berkas perkara pidana.
Hak untuk mengakses berkas perkara dan barang bukti juga diperlukan untuk kepentingan persiapan pembelaan bagi kliennya, dan juga memastikan perolehan hingga pengumpulan alat bukti (bewijsvoering) dari setiap upaya paksa dilakukan secara sah dan tidak melawan hukum (illegaly obtained evidence).
Selain itu, mengutip pemikiran Yap Thiam Hien dalam buku Negara, HAM & Demokrasi terbitan YLBHI (1998), pengujian dari keabsahan upaya paksa melalui praperadilan oleh advokat, misalnya tentang urgensi penahanan seseorang dengan jaminan uang atau orang dapat mengurangi beban rutan dan potensi pemerasan, kecuali untuk tindak pidana serius dan tindak pidana yang menyangkut keamanan negara atau kerugian keuangan negara.
Ketiga, mengenai larangan bagi advokat untuk memberikan pendapat di luar pengadilan mengenai permasalahan kliennya sebagaimana diatur dalam Pasal 142 ayat 3 huruf b RUU KUHAP haruslah dihapus.
Pasal tersebut tidak sesuai dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat, apalagi dalam situasi penegakan hukum saat ini yang dianggap masih belum memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Baca juga: Singgung Kasus Sambo, Advokat Ingin Dapat Imunitas Profesi seperti Polisi