Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mekanisme Hukum Perubahan Direksi dan Komisaris Perusahaan Tambang

Kegiatan usaha di sektor pertambangan memiliki karakteristik khusus jika bandingkan dengan industri lainnya.

Salah satunya adalah keterlibatan pemerintah di beberapa proses bisnis badan usaha Pemegang Izin Pertambangan (IUP), baik dari aspek operasional maupun pengawasan.

Hal tersebut tidak terlepas dari konsepsi hukum pertambangan yang merupakan bagian dari pelaksanaan kewenangan pemerintah untuk melakukan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.

Sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Dinyatakan secara tegas bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Peran penting pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), di antaranya dapat dilihat pada proses perubahan Anggota Direksi dan Dewan Komisaris oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Selain proses pemberitahuan perubahan data kepada Menteri Hukum dan HAM sebagaimana berlaku pada Perseroan Terbatas pada umumnya, pergantian Anggota Direksi dan Dewan Komisaris perusahaan pemegang IUP harus memperhatikan aturan khusus yang harus ditempuh.

Dengan kata lain, bagi perusahaan pemegang IUP, perubahan Anggota Direksi dan Dewan Komisaris tidak hanya mengacu pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, namun terdapat beberapa regulasi khusus di bidang pertambangan yang harus diperhatikan secara seksama.

Untuk itu, layak kiranya dibahas tentang bagaimana mekanisme perubahan direksi dan komisaris perusahaan pemegang IUP? Apa akibat hukum apabila mekanisme khusus tersebut diabaikan oleh perusahaan?

Mekanisme hukum

Perubahan susunan Anggota Direksi dan Dewan Komisaris suatu Perseroan Terbatas secara umum tetap berpedoman pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU No. 40 Tahun 2007).

Pada Pasal 94 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 diatur bahwa Anggota Direksi diangkat oleh RUPS. Ketentuan yang identik ditemukan pada Pasal 111 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 yang mengatur bahwa Anggota Dewan Komisaris diangkat oleh RUPS.

Dalam hal terjadi pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota direksi dan/atau dewan komisaris, direksi wajib memberitahukan perubahan anggota direksi dan/atau dewan komisaris kepada Menteri Hukum dan HAM untuk dicatat dalam daftar Perseroan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal keputusan RUPS tersebut.

Dalam hal pemberitahuan sebagaimana dimaksud belum dilakukan, Menteri Hukum dan HAM menolak setiap permohonan yang diajukan atau pemberitahuan yang disampaikan kepada Menteri Hukum dan HAM oleh Direksi yang belum tercatat dalam daftar perseroan.

Teknis lebih lanjut diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak HAM No. 21 Tahun 2021 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Pendirian, Perubahan, dan Pembubaran Badan Hukum Perseroan Terbatas (Permenkumham No. 21 Tahun 2021).

Pada aturan tersebut dinyatakan bahwa perubahan anggota direksi dan/atau dewan komisaris harus dimuat atau dinyatakan dalam akta notaris berbahasa Indonesia.

Kemudian, pada Pasal 10 Permenkumham No. 21 Tahun 2021 dijelaskan bahwa permohonan perubahan data Perseroan, dalam hal ini perubahan anggota direksi dan/atau komisaris, dapat diajukan secara elektronik melalui Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) dengan cara mengisi format perubahan yang dilengkapi keterangan mengenai dokumen pendukung.

Namun demikian, berkaitan dengan perubahan anggota direksi dan dewan komisaris badan usaha berbentuk Perseroan Terbatas yang memiliki IUP, maka harus merujuk pada sektor pertambangan.

Aturan tersebut di antaranya Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Permen ESDM No. 7 Tahun 2020).

Pada Pasal 64 ayat (3) Permen ESDM No. 7 Tahun 2020 pada intinya diatur bahwa pemegang IUP atau IUPK yang telah melakukan perubahan direksi dan/atau komisaris wajib menyampaikan laporan kepada menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM.

Pada Pasal 112 huruf c Permen ESDM No. 7 Tahun 2020 dtegaskan pula bahwa ketentuan mengenai pelaporan perubahan Anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris diberlakukan kepada perusahaan pemegang kontrak karya dan perjanjain karya pengusahaan pertambangan batu bara.

Peraturan sebagaimana tersebut mengubah mekanisme hukum yang sebelumnya diatur dalam Permen ESDM No. 48 Tahun 2017 tentang Pengawasan Pengusahaan di Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral.

Pada Pasal 17 Permen ESDM pada intinya diatur bahwa perubahan anggota direksi dan dewan komisaris wajib terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Menteri ESDM.

Ketentuan di atas identik dengan norma hukum yang diatur dalam Pasal 63 Permen ESDM No. 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Risiko hukum

Berkaitan dengan kewajiban hukum untuk melaporkan perubahan anggota direksi dan dewan komisaris kepada Menteri ESDM, pada Pasal 95 ayat (1) Permen ESDM No. 7 Tahun 2020 diadakan ketentuan lebih lanjut.

Disebutkan bahwa pemegang IUP, IUPK, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, IUJP, dan IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan, yang tidak mematuhi atau melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 64 dikenakan sanksi administratif.

Sanksi administratif dapat berupa peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha dan/atau pencabutan izin. Sanksi diberikan oleh direktur jenderal atas nama Menteri ESDM atau gubernur sesuai dengan kewenangannya.

Sebagai informasi, dalam praktik peradilan, tidak dipenuhinya mekanisme hukum untuk perubahan anggota direksi dan dewan komisaris sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di sektor pertambangan dapat mengakibatkan batalnya produk hukum berkaitan hal tersebut.

Hal ini di antaranya pernah terjadi pada sengketa hukum yang diputus oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dalam Putusan No. 105/G/2019/PTUN-JKT tanggal 23 Oktober 2019.

Untuk menjadi catatan, perkara tersebut terjadi sebelum terbitnya Permen ESDM No. 7 Tahun 2020.

Pada perkara tersebut, salah satu amar putusan Majelis Hakim menyatakan batal 2 (dua) Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM perihal penerimaan pemberitahuan perubahan data perseroan terbatas pemegang IUP.

Pada pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim menyatakan bahwa dalam sengketa ini terdapat norma hukum yang menghendaki bagi Perseroan Terbatas pemegang IUP dan IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian yang diterbitkan oleh Menteri, IUPK, KK, atau PKP2B dalam melakukan perubahan saham, direksi dan/atau komisaris wajib terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Menteri ESDM atau gubernur sesuai dengan kewenangannya.

Sementara, dalam sengketa pengadilan tidak melihat adanya bukti persetujuan Menteri ESDM ataupun Gubernur mengenai perubahan anggaran dasar dan/atau perubahan data Perseroan, baik saham maupun direksi maupun komisaris.

Pengadilan berpendapat, baik secara prosedural maupun substansial dari penerbitan objetum litis bertentangan dengan Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (1) Permen ESDM No. 48 Tahun 2017 jo. Pasal 63 Permen ESDM No. 11 Tahun 2018.

Tindakan Menteri Hukum dan HAM yang mengesahkan tindakan perseroan bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Kedua objek gugatan mengandung segi kekurangan yuridis, sehingga beralasan hukum bagi pengadilan untuk menyatakan batal kedua surat keputusan objektum litis.

https://www.kompas.com/konsultasihukum/read/2024/10/03/060000580/mekanisme-hukum-perubahan-direksi-dan-komisaris-perusahaan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke