ARTIKEL ini hendak menanggapi tulisan dosen pembimbing akademik penulis pada Fakultas Hukum UGM, M. Fatahillah Akbar, di Kompas (29 Oktober 2024) yang berjudul “Bubarkan Fakultas Hukum”.
Artikel tersebut pada intinya mengargumentasikan empat hal. Masing-masing adalah adanya (i) pendekatan formalistik dalam pendidikan hukum; (ii) penggunaan basis filsafat hukum; (iii) advokasi untuk pendidikan hukum berbasis praktik; dan (iv) metode pembelajaran.
Empat catatan tersebut sesungguhnya membuka diskursus mengenai idealitas pendidikan hukum di Indonesia.
Diskursus ini jarang ditampilkan, salah satunya karena pendidikan hukum memilih berkembang tanpa adanya kejelasan determinasi. Setiap institusi pendidikan tinggi memiliki niche tersendiri dan menjadi standar idealitasnya.
Perlu ada upaya diagnosis bersama untuk melihat tantangan apa yang dihadapi dalam pendidikan hukum dan ke mana arah yang hendak dicapai.
Sayangnya, artikel M. Fatahillah Akbar belum berhasil menempatkan gagasan yang lebih tersistematis dalam merangkai ide pendidikan hukumnya.
Kekhawatiran yang muncul kemudian adalah adanya kontradiksi ide yang memungkinkan salah langkah dalam pendidikan hukum.
Oleh sebab itu, artikel ini akan membahas aspek epistemologis di dalam pendidikan hukum dan konsekuensi dalam pembelajaran.
M. Fatahillah Akbar memulai artikelnya dengan mengutip ide mengenai keadilan dan hukum. Lalu ide tersebut mengantarkan pada kesimpulan bahwa pendidikan hukum yang eksisting tidak mampu mewujudkan keadilan karena muncul beberapa fenomena “keajaiban hukum” seperti RUU Pilkada, Revisi UU Kementerian, dan lainnya.
Akar permasalahan situasi ini, menurut dia, karena pendidikan hukum yang terlalu formalistik.
Keterkaitan antara keadilan dan hukum bisa ditarik pertama kali pada ranah filsafat Hukum Alam. Sebagaimana yang didalilkan oleh pemikir filsafat Hukum Alam Klasik, keadilan merupakan ide yang kekal dan bersifat abstrak.
Sehingga, menurut Aristoteles, harus ada upaya untuk menjadikan keadilan tersebut (forma) menjadi hal yang lebih terukur (materia).
Sekalipun semua orang bersepakat mengenai keadilan sebagai tujuan utama berhukum, tapi tataran materia dari keadilan perlu ditentukan. Upaya inilah yang kemudian melahirkan sejumlah konsep keadilan seperti restorative justice, distributive justice, corrective justice, dan lainnya.
Ijtihad untuk menjadikan ide yang abstrak ke dalam ide yang terukur dapat diwujudkan menggunakan hukum.
Dalam transisi tersebut, maka muncul sejumlah variasi yang membangkitkan komponen-komponen dalam pendidikan hukum.
Pertama, ide formalistik hukum yang bisa dijelaskan melalui positivisme hukum. Poin utamanya adalah bahwa hukum merupakan perintah dari pihak yang berdaulat (John Austin, 1859), yang terbebas dari anasir-anasir non-hukum (Kelsen, 1934), dan penegakannya bisa dipaksakan (Hart, 1961).
Basis pemikiran tersebut kemudian memberikan ciri khas dalam pembelajaran hukum yang bersifat dogmatis, berkutat pada koherensi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan.
Hal ini memberikan manfaat bagi pendidikan hukum, khususnya dalam melatih logika deduktif sebagai logika umum berfikir hukum.
Letak kritik terhadap pendidikan hukum yang semacam ini adalah tidak mempertimbangkan moralitas dan/atau kondisi sosial sebagai komponen utama dalam berhukum. Hal ini yang kemudian oleh M. Fatahillah Akbar katakan sebagai “pendekatan formalistik”.
Kedua, kelemahan positivisme hukum di atas coba dilengkapi oleh pemikir dari filsafat hukum utilitarianisme. Pernyataan utamanya adalah pencapaian keadilan diukur dari kebahagiaan seseorang.
Oleh Jeremy Bentham (1789), kebahagiaan tersebut hanya mungkin dirasakan apabila seseorang mendapatkan manfaat. Sehingga, hukum yang berkeadilan haruslah hukum yang menghasilkan utilitas bagi masyarakat.
Konsekuensi pemikiran ini pada hukum adalah berkembangnya kerangka analisis hukum seperti cost and benefit, universitas sebagai penjembatan lapangan kerja, dan pendidikan hukum yang berpendekatan praktis.
Sehingga, pendidikan hukum bukan hanya berfokus pada sistematisasi aturan saja, tetapi juga melihat pengaruh faktor-faktor non-hukum seperti ekonomi, sosial, dan budaya.
Ide ini juga menjadi fondasi bagi gerakan hukum dan pembangunan dengan menempatkan hukum sebagai motor penggeraknya.
Namun demikian, kelemahan dalam utilitarianisme ini adalah bahwa ada hal-hal yang dikorbankan demi kemanfaatan yang lebih luas.
Sebagai contoh, lingkungan valid untuk dieksploitasi untuk mendapat bahan baku energi demi keuntungan ekonomi.
Akibatnya, pendidikan hukum meninggalkan jejak buruk pada aspek-aspek hukum yang kurang formal, seperti perlindungan masyarakat hukum adat, hak atas lingkungan, dan perlindungan masyarakat rentan.
Ketiga, kritik dalam utilitarianisme tersebut coba dijawab melalui filsafat hukum historical school of law dengan salah satu pemikiran Von Savigny.
Dalil utamanya adalah bahwa hukum yang valid adalah hukum yang bersumber dari jiwa bangsa suatu negara (volksgeist). Dengan demikian, hukum baru bersifat berkeadilan apabila hukum datang dari aspirasi masyarakat yang telah berkembang dan hidup dari masa ke masa.
Pemikiran ini memberikan porsi yang lebih besar bagi pendidikan hukum untuk melihat hukum sebagai sebuah fenomena empiris daripada hanya sebagai hukum tertulis.
Mendalami kekhasan dalam masyarakat lokal seperti penyelesaian sengketa maupun perwujudan nilai-nilai hukum harus diakomodasi ke tingkat nasional sebagai sumber utama pembentukan hukum.
Oleh sebab itu, case-based approach dalam pendidikan hukum terkini juga muncul sebagai perkembangan dari aliran hukum ini.
Kelemahan dari pemikiran ini adalah terlalu meninggalkan hukum yang bersifat dogmatis, sehingga efektivitas dalam penegakan hukum menjadi rendah.
Keempat, melengkapi kelemahan dalam historical school of law, terdapat pemikiran dalam filsafat hukum yang disebut sebagai sociological jurisprudence. Pemikiran ini mencoba menempatkan porsi yang seimbang antara hukum sebagai bentuk dan hukum sebagai isi.
Dari segi bentuk, hukum haruslah bersifat formal demi menjamin kepastian hukum. Sedangkan dari segi isi, moralitas dan nilai-nilai haruslah bersumber dari kenyataan masyarakat.
Proses akomodasi pemikiran ini kedalam pendidikan hukum kita adalah dengan menjadikan dialog (socratic method) sebagai prinsip pembelajaran.
Hal ini berfungsi untuk menggali aspirasi dan ide dari mahasiswa yang dianggap memiliki bekal pengetahuan. Sehingga, dosen tidak menjadi pengajar melainkan lebih sebagai fasilitator dalam menggiring ide yang ada ke dalam konstruksi hukum yang formal.
Seharusnya, pembentukan substansi pendidikan hukum kita perlu mempertimbangkan keempat epistemologi tersebut untuk mencari bentuk terbaik dan seimbang.
Sebab, semua persoalan yang dikemukakan dalam artikel a quo merupakan soal klasik yang hanya perlu diputuskan bentuk yang akan digunakan.
Dalam rangka mencegah salah langkah pendidikan hukum, perlu ada pencermatan tentang tantangan apa yang tengah dihadapi.
Sebagai contoh, degradasi moral pengemban hukum, overburden pendidik dan pengajar hukum, pragmatisme pendidikan tinggi, dan lainnya.
Upaya lebih sistematis untuk menyisir soal tersebut satu persatu perlu berangkat dengan mengapresiasi dasar pemikiran yang sama. Meskipun hal ini tidak berarti bahwa setiap institusi pendidikan tinggi hukum harus diseragamkan.
Sudah saatnya kita mengapresiasi karakteristik dalam epistemologi pendidikan hukum. Beberapa di antaranya adalah menjaga kualitas berpikir logis lulusan hukum, meningkatkan kemampuan praktis kaitannya dengan profesi hukum, menghadirkan keberpihakan kepada aspirasi masyarakat, serta membuka ruang dialog dalam pembelajaran hukum.
Harapannya, bila pendidikan hukum berhasil menerapkan hal tersebut, keadilan paripurna yang kita cita-citakan semoga terejawantahkan.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini