Pertama, ide formalistik hukum yang bisa dijelaskan melalui positivisme hukum. Poin utamanya adalah bahwa hukum merupakan perintah dari pihak yang berdaulat (John Austin, 1859), yang terbebas dari anasir-anasir non-hukum (Kelsen, 1934), dan penegakannya bisa dipaksakan (Hart, 1961).
Basis pemikiran tersebut kemudian memberikan ciri khas dalam pembelajaran hukum yang bersifat dogmatis, berkutat pada koherensi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan.
Hal ini memberikan manfaat bagi pendidikan hukum, khususnya dalam melatih logika deduktif sebagai logika umum berfikir hukum.
Letak kritik terhadap pendidikan hukum yang semacam ini adalah tidak mempertimbangkan moralitas dan/atau kondisi sosial sebagai komponen utama dalam berhukum. Hal ini yang kemudian oleh M. Fatahillah Akbar katakan sebagai “pendekatan formalistik”.
Kedua, kelemahan positivisme hukum di atas coba dilengkapi oleh pemikir dari filsafat hukum utilitarianisme. Pernyataan utamanya adalah pencapaian keadilan diukur dari kebahagiaan seseorang.
Oleh Jeremy Bentham (1789), kebahagiaan tersebut hanya mungkin dirasakan apabila seseorang mendapatkan manfaat. Sehingga, hukum yang berkeadilan haruslah hukum yang menghasilkan utilitas bagi masyarakat.
Konsekuensi pemikiran ini pada hukum adalah berkembangnya kerangka analisis hukum seperti cost and benefit, universitas sebagai penjembatan lapangan kerja, dan pendidikan hukum yang berpendekatan praktis.
Sehingga, pendidikan hukum bukan hanya berfokus pada sistematisasi aturan saja, tetapi juga melihat pengaruh faktor-faktor non-hukum seperti ekonomi, sosial, dan budaya.
Ide ini juga menjadi fondasi bagi gerakan hukum dan pembangunan dengan menempatkan hukum sebagai motor penggeraknya.
Namun demikian, kelemahan dalam utilitarianisme ini adalah bahwa ada hal-hal yang dikorbankan demi kemanfaatan yang lebih luas.
Sebagai contoh, lingkungan valid untuk dieksploitasi untuk mendapat bahan baku energi demi keuntungan ekonomi.
Akibatnya, pendidikan hukum meninggalkan jejak buruk pada aspek-aspek hukum yang kurang formal, seperti perlindungan masyarakat hukum adat, hak atas lingkungan, dan perlindungan masyarakat rentan.
Ketiga, kritik dalam utilitarianisme tersebut coba dijawab melalui filsafat hukum historical school of law dengan salah satu pemikiran Von Savigny.
Dalil utamanya adalah bahwa hukum yang valid adalah hukum yang bersumber dari jiwa bangsa suatu negara (volksgeist). Dengan demikian, hukum baru bersifat berkeadilan apabila hukum datang dari aspirasi masyarakat yang telah berkembang dan hidup dari masa ke masa.
Pemikiran ini memberikan porsi yang lebih besar bagi pendidikan hukum untuk melihat hukum sebagai sebuah fenomena empiris daripada hanya sebagai hukum tertulis.