KOMPAS.com – Fenomena pengibaran bendera One Piece jelang Hari Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus menjadi perbincangan publik.
Simbol tengkorak bertopi jerami dari serial anime Jepang ini terlihat dikibarkan di berbagai daerah, sebagian bahkan bersanding dengan bendera Merah Putih.
Menanggapi fenomena ini, sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Drajat Tri Kartono menjelaskan bahwa simbol tersebut bukan sekadar gambar karakter fiksi, tetapi punya makna budaya yang lebih luas.
Baca juga: 5 Poin Analisis Sosiolog soal Ramainya Pengibaran Bendera One Piece Jelang 17 Agustus
Apa analisisnya terkait pengibaran bendera One Piece tersebut?
Menurut Drajat, bendera One Piece yang dikibarkan masyarakat saat ini tidak mewakili citra bajak laut jahat atau penuh kekerasan seperti yang umum dibayangkan.
“Kalau saya sendiri melihat bahwa ketika yang diambil itu bukan bendera yang mewakili bajak laut, yang wajahnya garang, tengkorak yang garang dan bendera hitam itu, lebih ke arah animasi, lebih ke arah petualangan dan kepahlawanan yang tidak formal, kepahlawanan yang lebih santai,” ujarnya kepada Kompas.com, Jumat (1/8/2025) malam.
Ia menilai bendera itu justru menggambarkan nilai-nilai seperti kreativitas, keberanian, dan kekuatan rakyat.
“Yang bendera bertopi itu lebih pengembangan ke arah identitas budaya yang dibangun untuk menunjukkan adanya upaya-upaya simbol kepahlawanan, simbol kekuatan itu basisnya dari rakyat, dari orang-orang yang kreatif, inovatif dan mau berpetualang menjelajah hidup daripada kemapanan negara,” jelas Drajat.
Baca juga: Fenomena Bendera One Piece Jelang 17 Agustus, Sosiolog: Identitas Populer, Bukan Ancaman Negara
“Pertama adalah bahwa ini satu kesenangan, yang dibagi merata, dan orang-orang merasa dan karena ini dikenal banyak di mana-mana, orang ikut-ikutan semacam FOMO. Dalam sosiologi demonstration effect, terpakai banyak, kita ikut-ikutan, belum tentu memiliki motivasi yang lain, kecuali hanya mengikuti,” ungkapnya.
Drajat menjelaskan bahwa anime seperti One Piece menjadi bagian dari reproduksi budaya, yakni bagaimana simbol dan cerita populer dari media berkembang dan digunakan masyarakat untuk mengekspresikan diri.
“Memang bisa menjadi istilahnya di sosiologi, reproduksi budaya, bagaimana budaya itu dipakai anime itu kemudian disukai, dan kita banyak. Reproduksi Korea dan itu dibangun melalui perantara-perantara yang disebut dengan apa namanya kultur, ada perwakilan simbol,” katanya.
“Justru versi yang menggambarkan yang dulunya seram, dirubah lebih arahnya ke petualangan, dan upaya untuk kreativitas membangun kemerdekaan dan keadilan,” lanjutnya.
Drajat mengingatkan agar negara tidak bereaksi berlebihan terhadap fenomena ini, sebab justru bisa menimbulkan kesan seolah pemerintah takut terhadap simbol budaya populer.