Ironisnya, nama Farel yang disebut pertama justru populer saat hendak menjual ginjalnya guna membebaskan ibunya yang ditahan penegak hukum, karena diduga menggelapkan uang kerabatnya.
Setelah mendapat atensi dari Komisi III DPR, penahanan ibunda Farel ditangguhkan dan kasusnya diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif.
Namun dihentikannya kasus itu belum menyelesaikan masalah struktural dari penegakan hukum pidana, khususnya berkaitan dengan aturan penahanan sebagai salah satu upaya paksa.
Fenomena yang kerap dijumpai dalam penegakan hukum yang sepi dari pemberitaan dan kurang menarik perhatian publik adalah penahanan yang dapat dilakukan kepada pelaku yang diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 5 tahun atau lebih dan tindak pidana tertentu yang secara objektif dapat dilakukan penahanan.
Subjektifitas aparat penegak hukum (penyidik, penuntut umum, dan hakim) dalam menerjemahkan kata “dapat” ketika melakukan penahanan terbilang cukup tinggi.
Pasal 21 ayat (1) KUHAP mensyaratkan keadaan yang menimbulkan “kekhawatiran” tersangka/terdakwa akan melarikan diri, merusak/menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana.
Ikhtiar DPR dan Pemerintah untuk memperbarui hukum acara pidana melalui RUU KUHAP perlu disambut dengan semangat menjunjung hak asasi yang bertanggungjawab, mencegah penyalahgunaan wewenang aparat, serta meminimalkan terjadinya praktik suap dan pemerasan, sebagaimana postulat, “leges bonae ex malis moribus procreantur”, artinya hukum yang baik lahir dari praktik yang buruk.
Rekonstruksi Penahanan
Pasal 9 ayat (3) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No.12/2005 tidak serta-merta menjadi self executing treaty.
Namun, ICCPR bisa menjadi panduan untuk merekonstruksi aturan penahanan, tentunya dengan memperhatikan keseimbangan pengendalian kejahatan (crime control model) dan proses hukum yang adil (due process of law), yang paling cocok penerapannya untuk Indonesia.
Pertama, setiap orang yang ditangkap atau ditahan berdasarkan tuduhan pidana, wajib segera dihadapkan ke depan pengadilan atau pejabat lain yang diberi kewenangan oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan peradilan, dan berhak untuk diadili dalam jangka waktu yang wajar, atau dibebaskan.
Kedua, bukan merupakan suatu ketentuan umum, bahwa orang yang menunggu diadili harus ditahan. Pembebasan dapat diberikan atas dasar jaminan untuk hadir pada waktu sidang, pada setiap tahap pengadilan dan pada pelaksanaan putusan, apabila diputuskan demikian.
Kita juga dapat menggali beberapa pemikiran legenda advokat dan pejuang HAM, Yap Thiam Hien dalam tiga tulisan klasiknya di Harian Kompas tanggal 2 Maret 1966, 10 Maret 1966, dan 18 Juni 1968.
Pertama, penahanan merupakan upaya paksa berupa perampasan kemerdekaan sementara yang bersifat terbatas dan seminimal mungkin.
Kedua, tersangka atau advokatnya dapat menguji atau mempersoalkan alasan dari aparat penegak hukum dalam melakukan penahanan di hadapan hakim.
Ketiga, hak untuk penangguhan penahanan dengan penyetoran jaminan uang atau jaminan orang, kecuali untuk kejahatan terhadap keamanan negara dan pembunuhan berencana.
Menurut penulis, beberapa pemikiran Yap tersebut dapat meminimalkan praktik transaksional dalam penahanan, sebagaimana postulat, “Accipere quid ut justitiam facias non est tam accipere quam extorquere”, artinya menerima sesuatu sebagai imbalan untuk menegakkan keadilan justru lebih condong pada tindakan pemerasan.
Jaminan penangguhan
Upaya RUU KUHAP untuk meminimalkan subjektifitas penahanan dengan “memperbanyak” alasan-alasan penahanan dalam Pasal 93 ayat (5) RUU KUHAP patut diapresiasi.
Namun, penulis merasa perlu memberikan catatan kritis atas rancangan tersebut.
Pertama, mengenai alasan “memberikan informasi tidak sesuai fakta pada saat pemeriksaan”. Hal ini bertentangan dengan hak ingkar yang dimiliki tersangka/terdakwa.
Kedua, mengenai alasan “tidak bekerja sama dalam pemeriksaan”, hal ini terlalu terlalu sumir karena prinsipnya tidak ada seorangpun yang sebenarnya mau menjalani proses hukum secara sukarela.
Ketiga, “menghambat proses pemeriksaan”, ketentuan ini terlalu elastis dan subjektif, apalagi sudah ada pasal tindak pidana mengganggu dan merintangi proses peradilan dalam KUHP Baru.
Selain itu, mengenai ketentuan penangguhan penahanan dalam Pasal 103 RUU KUHAP yang dapat dilakukan dengan atau tanpa Jaminan Uang atau Jaminan Orang, berdasarkan syarat yang ditentukan perlu diatur secara expressis verbis dan lebih rinci dalam RUU KUHAP, serta jangan didelegasikan ke Peraturan Pemerintah sebagaimana KUHAP saat ini.
Menurut penulis, Jaminan Orang seharusnya lebih diperuntukan bagi tersangka atau terdakwa yang tidak mampu secara ekonomi dalam kasus probono, karena merupakan suatu contradictio in terminis bagi mereka yang tergolong tidak mampu dan bahkan tidak bisa menunjuk advokatnya sendiri, justru “memperoleh” Jaminan Uang dari pihak ketiga.
Selanjutnya mengenai Jaminan Uang, perlu diatur mekanisme besaran jumlah uang jaminan berdasarkan beberapa kategori.
Misalnya, tingkat kerugian materiil dan imateriil yang ditimbulkan akibat tindak pidana, kualifikasi korban (individu, korporasi, pemerintah), tingkat ketercelaan tindak pidana, dan kepentingan hukum apa yang hendak dilindungi.
Namun demikian, Jaminan Uang untuk penangguhan penahanan masih dapat dikesampingkan penerapannya untuk Tindak Pidana Terhadap Keamanan Negara, tindak pidana serius yang diancam dengan pidana 9 tahun penjara, dan 5 (lima) tindak pidana khusus sebagaimana dimaksud dalam Bab XXXV KUHP Baru, yaitu Pelanggaran HAM Berat, Korupsi, Narkotika (Pengedar), Pencucian Uang, dan Terorisme.
Selain itu, yang terpenting perlu adanya perubahan paradigma lama dari aparat penegak hukum bahwa penahanan merupakan upaya paksa terakhir yang dapat dilakukan melalui perampasan kemerdekaan dari tersangka/terdakwa, apabila memang tidak ada upaya lain dapat ditempuh.
Mengingat setiap orang, termasuk pula aparat sewaktu-waktu juga bisa berhadapan dengan hukum dan mengalami ketidakadilan.
Paradigma baru
Dalam melaksanakan kewenangannya untuk melakukan penahanan, memang belum tentu ada indikasi pemerasan dari aparat maupun pemberian suap dari tersangka atau terdakwa agar tidak ditahan.
Namun, saat ini masih terdapat kecenderungan seolah-olah tersangka atau terdakwa sedapat mungkin ditahan, sebagai suatu “SOP tidak tertulis”, yaitu agar mudah dihadirkan dalam setiap tingkat pemeriksaan.
Kemungkinan tidak dipilihnya model hakim komisaris/hakim pemeriksaan pendahuluan untuk menjalankan fungsi pengawasan yudisial (judicial scrutiny), maka satu-satunya fungsi kontrol eksternal terhadap kewenangan aparat penegak hukum dalam melakukan penahanan hanyalah melalui praperadilan sebagai habeas corpus ad subjiciendum, tempat mengadukan pelanggaran hak asasi dalam proses pidana.
Untuk itu, perlu ada penegasan bahwa kewenangan praperadilan dalam Pasal 149 RUU KUHAP dapat menguji keabsahan dan alasan dari aparat penegak hukum untuk melakukan penahanan, tentunya dengan memperhatikan pengecualian-pengecualian yang penulis uraikan sebelumnya.
Rekonstruksi aturan penahanan ini diharapkan dapat mengosongkan ruang tahanan dari penahanan yang sebenarnya tidak perlu, mengurangi kemungkinan terjadinya praktik suap / pemerasan dan penyalahgunaan wewenang dari penegak hukum, serta menghargai insan manusia sebagai pribadi yang berharga di mata Sang Pencipta.
https://www.kompas.com/konsultasihukum/read/2025/05/17/130241580/menggali-pemikiran-yap-thiam-hien-soal-penahanan