Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Albert Aries
Advokat dan Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Pengamat hukum pidana dan kebijakan publik

Menggali Pemikiran Yap Thiam Hien soal Penahanan

Kompas.com - 17/05/2025, 13:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Ketiga, hak untuk penangguhan penahanan dengan penyetoran jaminan uang atau jaminan orang, kecuali untuk kejahatan terhadap keamanan negara dan pembunuhan berencana.

Menurut penulis, beberapa pemikiran Yap tersebut dapat meminimalkan praktik transaksional dalam penahanan, sebagaimana postulat, “Accipere quid ut justitiam facias non est tam accipere quam extorquere”, artinya menerima sesuatu sebagai imbalan untuk menegakkan keadilan justru lebih condong pada tindakan pemerasan.

Jaminan penangguhan

Upaya RUU KUHAP untuk meminimalkan subjektifitas penahanan dengan “memperbanyak” alasan-alasan penahanan dalam Pasal 93 ayat (5) RUU KUHAP patut diapresiasi.

Namun, penulis merasa perlu memberikan catatan kritis atas rancangan tersebut.

Pertama, mengenai alasan “memberikan informasi tidak sesuai fakta pada saat pemeriksaan”. Hal ini bertentangan dengan hak ingkar yang dimiliki tersangka/terdakwa.

Kedua, mengenai alasan “tidak bekerja sama dalam pemeriksaan”, hal ini terlalu terlalu sumir karena prinsipnya tidak ada seorangpun yang sebenarnya mau menjalani proses hukum secara sukarela.

Ketiga, “menghambat proses pemeriksaan”, ketentuan ini terlalu elastis dan subjektif, apalagi sudah ada pasal tindak pidana mengganggu dan merintangi proses peradilan dalam KUHP Baru.

Selain itu, mengenai ketentuan penangguhan penahanan dalam Pasal 103 RUU KUHAP yang dapat dilakukan dengan atau tanpa Jaminan Uang atau Jaminan Orang, berdasarkan syarat yang ditentukan perlu diatur secara expressis verbis dan lebih rinci dalam RUU KUHAP, serta jangan didelegasikan ke Peraturan Pemerintah sebagaimana KUHAP saat ini.

Menurut penulis, Jaminan Orang seharusnya lebih diperuntukan bagi tersangka atau terdakwa yang tidak mampu secara ekonomi dalam kasus probono, karena merupakan suatu contradictio in terminis bagi mereka yang tergolong tidak mampu dan bahkan tidak bisa menunjuk advokatnya sendiri, justru “memperoleh” Jaminan Uang dari pihak ketiga.

Selanjutnya mengenai Jaminan Uang, perlu diatur mekanisme besaran jumlah uang jaminan berdasarkan beberapa kategori.

Misalnya, tingkat kerugian materiil dan imateriil yang ditimbulkan akibat tindak pidana, kualifikasi korban (individu, korporasi, pemerintah), tingkat ketercelaan tindak pidana, dan kepentingan hukum apa yang hendak dilindungi.

Namun demikian, Jaminan Uang untuk penangguhan penahanan masih dapat dikesampingkan penerapannya untuk Tindak Pidana Terhadap Keamanan Negara, tindak pidana serius yang diancam dengan pidana 9 tahun penjara, dan 5 (lima) tindak pidana khusus sebagaimana dimaksud dalam Bab XXXV KUHP Baru, yaitu Pelanggaran HAM Berat, Korupsi, Narkotika (Pengedar), Pencucian Uang, dan Terorisme.

Selain itu, yang terpenting perlu adanya perubahan paradigma lama dari aparat penegak hukum bahwa penahanan merupakan upaya paksa terakhir yang dapat dilakukan melalui perampasan kemerdekaan dari tersangka/terdakwa, apabila memang tidak ada upaya lain dapat ditempuh.

Mengingat setiap orang, termasuk pula aparat sewaktu-waktu juga bisa berhadapan dengan hukum dan mengalami ketidakadilan.

Paradigma baru

Dalam melaksanakan kewenangannya untuk melakukan penahanan, memang belum tentu ada indikasi pemerasan dari aparat maupun pemberian suap dari tersangka atau terdakwa agar tidak ditahan.

Namun, saat ini masih terdapat kecenderungan seolah-olah tersangka atau terdakwa sedapat mungkin ditahan, sebagai suatu “SOP tidak tertulis”, yaitu agar mudah dihadirkan dalam setiap tingkat pemeriksaan.

Kemungkinan tidak dipilihnya model hakim komisaris/hakim pemeriksaan pendahuluan untuk menjalankan fungsi pengawasan yudisial (judicial scrutiny), maka satu-satunya fungsi kontrol eksternal terhadap kewenangan aparat penegak hukum dalam melakukan penahanan hanyalah melalui praperadilan sebagai habeas corpus ad subjiciendum, tempat mengadukan pelanggaran hak asasi dalam proses pidana.

Untuk itu, perlu ada penegasan bahwa kewenangan praperadilan dalam Pasal 149 RUU KUHAP dapat menguji keabsahan dan alasan dari aparat penegak hukum untuk melakukan penahanan, tentunya dengan memperhatikan pengecualian-pengecualian yang penulis uraikan sebelumnya.

Rekonstruksi aturan penahanan ini diharapkan dapat mengosongkan ruang tahanan dari penahanan yang sebenarnya tidak perlu, mengurangi kemungkinan terjadinya praktik suap / pemerasan dan penyalahgunaan wewenang dari penegak hukum, serta menghargai insan manusia sebagai pribadi yang berharga di mata Sang Pencipta.

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau