DI RUANG sidang itu, waktu tidak bergerak. Hukum membeku, mencatat, lalu mengadili. Namun, bukan semata peristiwa yang diadili. Juga bukan hanya akibat dari sebuah perbuatan. Melainkan sesuatu yang lebih sunyi: kehendak.
Kita menyebutnya mens rea. Dalam bahasa Latin, ia berarti “niat jahat”—a guilty mind. Lebih dari sekadar niat, ia adalah letupan batin manusia saat pilihan etis dibentuk oleh kehendak bebas.
Apakah seseorang bersalah karena melakukan sesuatu yang dilarang? Ataukah ia baru layak dipidana bila perbuatan itu dilakukan dengan kesadaran, kehendak, dan kehendak itu sendiri jahat?
Dalam perkara pidana, mens rea adalah penanda antara kekhilafan dan kejahatan. Ia adalah jantung dari teori pertanggungjawaban pidana.
Namun di negeri ini, kadang jantung itu diganti dengan kalkulasi: apakah negara rugi? Apakah prosedur dilompati?
Lalu niat—yang harusnya jadi pusat penghakiman—perlahan hilang dari panggung pengadilan.
Baca juga: Vonis 4,5 Tahun Tom Lembong: Terbaliknya Efek Jera
Sejarah hukum pidana tidak pernah bisa dilepaskan dari pencarian tentang niat. Dalam sistem Anglo-Saxon, niat jahat (mens rea) dan perbuatan jahat (actus reus) adalah dua sisi yang tak boleh terpisah.
Blackstone, dalam Commentaries on the Laws of England, menyebut bahwa hukum tak akan menghukum seseorang kecuali jika ia melakukan sesuatu dengan evil intent.
Di sistem Eropa Kontinental, konsep schuld atau kesalahan menjadi fondasi pemidanaan. Seseorang hanya bisa dihukum jika ada schuldvorm—bentuk kesalahan subjektif—baik itu kesengajaan (opzet) maupun kealpaan (culpa).
Tanpa kesalahan, tak ada pidana. Tanpa kehendak, tak ada moralitas hukum.
Namun, praktik hukum pidana di banyak negara, termasuk Indonesia, kerap kali membelok. Kita sering mempidanakan akibat, bukan kehendak.
Kita menghitung kerugian, bukan membuktikan niat. Kita menimbang prosedur yang dilompati, bukan kesengajaan yang mengiringi. Dan dalam pembelokan itu, mens rea menjadi bayangan yang dilupakan.
Di satu sisi, pidana adalah alat untuk melindungi masyarakat dari perbuatan yang membahayakan.
Di sisi lain, ia adalah ekspresi paling keras dari kewenangan negara untuk menyentuh kebebasan seseorang.
Maka hukum pidana tak boleh gegabah. Ia memerlukan kepastian bahwa seseorang patut dipidana bukan hanya karena akibat, melainkan karena kesadaran batin atas perbuatannya.
Sayangnya, banyak vonis hari ini yang melupakan itu. Dalam beberapa perkara tipikor misalnya, seseorang bisa dipidana karena dianggap lalai mengawasi, atau karena membuat keputusan administratif yang dianggap merugikan keuangan negara.
Baca juga: Berhukum tapi Tak Bernurani
Namun, apakah lalai adalah niat jahat? Apakah pelanggaran administratif bisa serta-merta ditarik ke ranah pidana tanpa membuktikan kehendak jahat di baliknya?
Di sini, mens rea bukan hanya konsep hukum. Ia adalah pertanyaan moral: apakah negara boleh memenjarakan seseorang tanpa memahami isi hatinya?
Tentu tidak semua kejahatan menuntut niat. Ada strict liability dalam hukum lingkungan atau hukum lalu lintas, di mana perbuatan cukup menjadi dasar pidana tanpa perlu membuktikan niat.
Tapi hukum pidana umum, apalagi pidana korupsi yang menyangkut martabat dan masa depan seseorang, tak boleh kehilangan ruh mens rea.
Bayangkan seorang pejabat publik yang mengambil keputusan mendesak untuk menyelamatkan pasokan pangan, lalu ternyata melanggar prosedur. Apakah ia penjahat?
Bayangkan dokter yang salah memberi dosis dalam keadaan darurat, lalu pasien meninggal. Apakah ia pembunuh?
Tanpa mens rea, hukum kehilangan dimensi manusiawinya. Tanpa kehendak, kita tak lagi menghukum manusia. Kita hanya menghukum peristiwa.
Di ruang sidang pidana Indonesia, sering kita melihat pertunjukan yang mengagumkan. Jaksa memaparkan kerugian negara dengan grafik dan angka.
Hakim mencatat daftar peraturan yang dilanggar. Kuasa hukum mengutip yurisprudensi. Namun, siapa yang menyelami kehendak terdalam terdakwa?
Di pengadilan pidana, terlalu banyak perhatian diberikan pada formalisme, terlalu sedikit diberikan pada intensi.
Bahkan frasa "terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan" kerap diucapkan tanpa disertai kalimat: “dengan sengaja.”
Maka tak jarang kita melihat vonis dijatuhkan tanpa satu kalimat pun menyebut bahwa terdakwa melakukan perbuatan “dengan niat jahat.” Hukum berubah menjadi kalkulasi administratif. Dan di sana, mens rea mati dalam diam.
Hukum pidana dirancang bukan hanya untuk menghukum, tetapi juga untuk memperingatkan. Bahwa setiap manusia punya pilihan, dan setiap pilihan membawa konsekuensi.
Tapi ketika pilihan itu tidak lahir dari kehendak jahat, ketika kesalahan itu hanya administratif, atau ketika niatnya justru untuk menyelamatkan kepentingan publik, apakah pidana tetap adil?
Baca juga: Keringanan di Tangan Penyamun
Ada banyak vonis di negeri ini yang menjatuhkan hukuman berat kepada mereka yang salah prosedur, tapi membebaskan mereka yang terang-terangan mengkorupsi dengan niat memperkaya diri.
Kita mempidanakan kelalaian, tapi tak menyentuh kesengajaan. Kita menghukum karena “bisa,” bukan karena “patut.”
Dan di balik semua itu, mens rea menatap kita—senyap, ditinggalkan oleh tafsir hukum yang semakin mekanis.
Pada akhirnya, mens rea bukan sekadar elemen hukum. Ia adalah jalan menuju keadilan. Karena hanya dengan memahami niat, kita bisa membedakan manusia yang tergelincir dari mereka yang sungguh-sungguh memilih berbuat jahat.
Hukum pidana yang mengabaikan mens rea adalah hukum yang kehilangan nuraninya.
Kita boleh tak tahu isi hati manusia, tapi kita tetap berkewajiban mencarinya. Sebab di situlah hukum bertemu kemanusiaan.
Di situlah keadilan bertemu pengampunan. Dan di situlah negara membatasi diri agar tidak menjadi tiran atas kehendak yang tak bersalah.
Dalam dunia yang semakin tergesa-gesa menghakimi, barangkali yang perlu kita bangun kembali adalah keberanian untuk bertanya: “Apa yang sebenarnya ia kehendaki?” Sebab hanya dengan itu, hukum tak sekadar menghukum. Ia memanusiakan.
Mens rea bukan hanya soal kesalahan hukum. Ia adalah peringatan bahwa negara harus menyelidiki hati sebelum memenjarakan tubuh.
Jika tidak, maka kita sedang mencipta hukum yang menghukum manusia tanpa memahami kemanusiaannya.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini