Sayangnya, banyak vonis hari ini yang melupakan itu. Dalam beberapa perkara tipikor misalnya, seseorang bisa dipidana karena dianggap lalai mengawasi, atau karena membuat keputusan administratif yang dianggap merugikan keuangan negara.
Baca juga: Berhukum tapi Tak Bernurani
Namun, apakah lalai adalah niat jahat? Apakah pelanggaran administratif bisa serta-merta ditarik ke ranah pidana tanpa membuktikan kehendak jahat di baliknya?
Di sini, mens rea bukan hanya konsep hukum. Ia adalah pertanyaan moral: apakah negara boleh memenjarakan seseorang tanpa memahami isi hatinya?
Tentu tidak semua kejahatan menuntut niat. Ada strict liability dalam hukum lingkungan atau hukum lalu lintas, di mana perbuatan cukup menjadi dasar pidana tanpa perlu membuktikan niat.
Tapi hukum pidana umum, apalagi pidana korupsi yang menyangkut martabat dan masa depan seseorang, tak boleh kehilangan ruh mens rea.
Bayangkan seorang pejabat publik yang mengambil keputusan mendesak untuk menyelamatkan pasokan pangan, lalu ternyata melanggar prosedur. Apakah ia penjahat?
Bayangkan dokter yang salah memberi dosis dalam keadaan darurat, lalu pasien meninggal. Apakah ia pembunuh?
Tanpa mens rea, hukum kehilangan dimensi manusiawinya. Tanpa kehendak, kita tak lagi menghukum manusia. Kita hanya menghukum peristiwa.
Di ruang sidang pidana Indonesia, sering kita melihat pertunjukan yang mengagumkan. Jaksa memaparkan kerugian negara dengan grafik dan angka.
Hakim mencatat daftar peraturan yang dilanggar. Kuasa hukum mengutip yurisprudensi. Namun, siapa yang menyelami kehendak terdalam terdakwa?
Di pengadilan pidana, terlalu banyak perhatian diberikan pada formalisme, terlalu sedikit diberikan pada intensi.
Bahkan frasa "terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan" kerap diucapkan tanpa disertai kalimat: “dengan sengaja.”
Maka tak jarang kita melihat vonis dijatuhkan tanpa satu kalimat pun menyebut bahwa terdakwa melakukan perbuatan “dengan niat jahat.” Hukum berubah menjadi kalkulasi administratif. Dan di sana, mens rea mati dalam diam.
Hukum pidana dirancang bukan hanya untuk menghukum, tetapi juga untuk memperingatkan. Bahwa setiap manusia punya pilihan, dan setiap pilihan membawa konsekuensi.
Tapi ketika pilihan itu tidak lahir dari kehendak jahat, ketika kesalahan itu hanya administratif, atau ketika niatnya justru untuk menyelamatkan kepentingan publik, apakah pidana tetap adil?
Baca juga: Keringanan di Tangan Penyamun