Ada banyak vonis di negeri ini yang menjatuhkan hukuman berat kepada mereka yang salah prosedur, tapi membebaskan mereka yang terang-terangan mengkorupsi dengan niat memperkaya diri.
Kita mempidanakan kelalaian, tapi tak menyentuh kesengajaan. Kita menghukum karena “bisa,” bukan karena “patut.”
Dan di balik semua itu, mens rea menatap kita—senyap, ditinggalkan oleh tafsir hukum yang semakin mekanis.
Pada akhirnya, mens rea bukan sekadar elemen hukum. Ia adalah jalan menuju keadilan. Karena hanya dengan memahami niat, kita bisa membedakan manusia yang tergelincir dari mereka yang sungguh-sungguh memilih berbuat jahat.
Hukum pidana yang mengabaikan mens rea adalah hukum yang kehilangan nuraninya.
Kita boleh tak tahu isi hati manusia, tapi kita tetap berkewajiban mencarinya. Sebab di situlah hukum bertemu kemanusiaan.
Di situlah keadilan bertemu pengampunan. Dan di situlah negara membatasi diri agar tidak menjadi tiran atas kehendak yang tak bersalah.
Dalam dunia yang semakin tergesa-gesa menghakimi, barangkali yang perlu kita bangun kembali adalah keberanian untuk bertanya: “Apa yang sebenarnya ia kehendaki?” Sebab hanya dengan itu, hukum tak sekadar menghukum. Ia memanusiakan.
Mens rea bukan hanya soal kesalahan hukum. Ia adalah peringatan bahwa negara harus menyelidiki hati sebelum memenjarakan tubuh.
Jika tidak, maka kita sedang mencipta hukum yang menghukum manusia tanpa memahami kemanusiaannya.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini