Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menyoal Penetapan Tersangka Direktur Mie Gacoan Bali Kasus Royalti Lagu

Pelapornya adalah Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI).

Dalam UU Hak Cipta memang telah diatur mekanisme hukum terkait pelanggaran UU Hak Cipta, baik secara perdata ataupun pidana.

Penulis tidak bermaksud menilai substansi permasalahan (kasus) tersebut, tapi hanya ingin mengkritisi apakah tata cara atau prosedur hukum sudah dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum.

Delik aduan

Pasal 120 UU Hak Cipta menegaskan bahwa seluruh tindak pidana yang diatur dalam UU Hak Cipta merupakan delik aduan.

Delik aduan adalah jenis tindak pidana yang hanya dapat diproses jika terdapat pengaduan dari pihak yang dirugikan (korban). Tanpa adanya pengaduan dari korban, maka kasus tersebut tidak dapat diproses oleh pihak berwenang.

Pasal 1 angka 22 UU Hak Cipta menjelaskan bahwa LMK adalah institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti.

Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa pemilik hak ekonomi dalam UU Hak Cipta adalah Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait.

Sedangkan LMK hanya merupakan perpanjangan tangan (penerima kuasa) dari Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait (pemberi kuasa) untuk mengelola hak ekonomi Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait tersebut, yaitu khusus dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti.

Menjadi pertanyaan, dalam hal terjadi pelanggaran UU Hak Cipta, apakah LMK sebagai wakil atau penerima kuasa dapat “menggantikan” posisi Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait sebagai pihak yang dirugikan atau sebagai korban tindak pidana?

Untuk menjawabnya, dapat dilihat ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Perlindungan Saksi dan Korban yang menyatakan bahwa “Korban” adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.

Dalam hal terjadi pelanggaran UU Hak Cipta, tentunya pihak yang dirugikan secara ekonomi adalah Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait.

Dengan demikian, LMK sebagai pihak penerima kuasa sama sekali tidak dapat “menggantikan” posisi Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait sebagai pihak yang dirugikan atau sebagai korban dari tindak pidana dalam UU Hak Cipta.

Hal ini yang menjadi kejanggalan bagi Penulis karena tindak pidana dalam UU Hak Cipta yang telah secara tegas dikualifikasikan sebagai delik aduan, ternyata laporan atau aduannya diterima oleh Kepolisian walaupun bukan diadukan secara langsung oleh korban. Bahkan saat ini telah berujung pada dilakukannya penetapan tersangka.

Penulis sama sekali tidak membenarkan tidak dibayarkannya royalti oleh Mie Gacoan Bali. Kewajiban pembayaran royalti sudah diatur dalam UU Hak Cipta.

Namun, mengingat kewenangan LMK (berdasarkan pemberian kuasa dari Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait) adalah terbatas untuk menghimpun dan mendistribusikan royalti, dan LMK bukan korban atau tidak dapat “menggantikan” posisi korban dari suatu tindak pidana dalam UU Hak Cipta, serta mengingat tindak pidana dalam UU Hak Cipta merupakan delik aduan, maka menjadi pertanyaan selanjutnya, atas dasar apa atau apa legal standing bagi LMK sehingga dapat membuat suatu laporan atau pengaduan pelanggaran UU Hak Cipta kepada pihak Kepolisian? 

Mengapa laporan atau pengaduan tersebut dapat diterima oleh pihak Kepolisian?

Hal ini sangat perlu untuk dikritisi karena dalam berjalannya suatu pemeriksaan perkara pidana tentunya harus bermula dari sahnya proses awal perkara tersebut, khususnya tentang kapasitas pelapor atau pengadu sebagai pihak yang benar-benar mempunyai hak.

Dapat dibayangkan betapa rumitnya apabila nantinya perkara yang merupakan delik aduan seperti kasus Mie Gacoan ini berlanjut sampai ke persidangan.

Pasal 160 ayat (1) huruf b KUHAP telah menentukan bahwa yang pertama-tama didengar keterangannya (di dalam sidang) adalah korban yang menjadi saksi.

Lalu, siapa saksi korban yang akan diperiksa di persidangan apabila korbannya sendiri (dalam hal ini Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait) ternyata tidak pernah membuat laporan atau pengaduan?

Sebagaimana telah Penulis uraikan bahwa LMK merupakan penerima kuasa untuk mengelola hak ekonomi Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait, yaitu terbatas hanya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti.

Tidak ada satupun ketentuan hukum yang menyatakan LMK juga menerima kuasa dari Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait untuk menempuh upaya hukum pidana terkait penaggaran UU Hak Cipta.

Apalagi dalam tindak pidana UU Hak Cipta (yang merupakan delik aduan) posisi korban tidak dapat diwakilkan pada saat membuat laporan atau pengaduan tersebut.

Penulis melihat kejanggalan berikutnya karena patut diduga LMK telah melampaui kewenangan atau kuasa yang diberikan kepadanya.

Padahal, Pasal 1797 KUHPerdata telah menentukan bahwa penerima kuasa tidak boleh melakukan apa pun yang melampaui kuasanya.

Mengingat LMK tidak memperoleh kuasa untuk membuat laporan/pengaduan (pidana) kepada Kepolisian, maka seharusnya sejak awal LMK dinyatakan tidak berwenang untuk membuat laporan/pengaduan tersebut.

Selain itu, patut diduga bahwa LMK telah “sengaja” membuat laporan atau pengaduan kepada pihak Kepolisian seolah-olah sebagai sarana “bargaining” agar pihak yang dilaporkan atau diadukan segera memenuhi kewajiban pembayaran royalti.

Hal ini semakin nyata terlihat sebagaimana sejumlah pemberitaan tentang adanya pembicaraan mengenai pembayaran ganti rugi oleh Mie Gacoan Bali.

Memang benar pembayaran ganti rugi (untuk tujuan keadilan restoratif/restorative justice) dapat dilakukan di Kepolisian.

Namun, apabila memang tujuan tersebut yang hendak dicapai, maka sepatutnya langkah hukum yang ditempuh bukan berupa laporan atau pengaduan ke Kepolisian, melainkan upaya hukum perdata berupa gugatan.

Di sinilah pentingnya peran Kepolisian untuk memberikan pemahaman dan memilah perkara yang patut untuk ditindaklanjuti secara pidana.

Tidak semua permasalahan hukum harus berujung dengan penyelesaian pidana. Apalagi sudah menjadi pengetahuan dasar bahwa penyelesaian secara pidana seharusnya merupakan langkah yang paling terakhir (ultimum remedium).

https://www.kompas.com/konsultasihukum/read/2025/08/07/153946680/menyoal-penetapan-tersangka-direktur-mie-gacoan-bali-kasus

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke