Namun, mengingat kewenangan LMK (berdasarkan pemberian kuasa dari Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait) adalah terbatas untuk menghimpun dan mendistribusikan royalti, dan LMK bukan korban atau tidak dapat “menggantikan” posisi korban dari suatu tindak pidana dalam UU Hak Cipta, serta mengingat tindak pidana dalam UU Hak Cipta merupakan delik aduan, maka menjadi pertanyaan selanjutnya, atas dasar apa atau apa legal standing bagi LMK sehingga dapat membuat suatu laporan atau pengaduan pelanggaran UU Hak Cipta kepada pihak Kepolisian?
Mengapa laporan atau pengaduan tersebut dapat diterima oleh pihak Kepolisian?
Hal ini sangat perlu untuk dikritisi karena dalam berjalannya suatu pemeriksaan perkara pidana tentunya harus bermula dari sahnya proses awal perkara tersebut, khususnya tentang kapasitas pelapor atau pengadu sebagai pihak yang benar-benar mempunyai hak.
Dapat dibayangkan betapa rumitnya apabila nantinya perkara yang merupakan delik aduan seperti kasus Mie Gacoan ini berlanjut sampai ke persidangan.
Pasal 160 ayat (1) huruf b KUHAP telah menentukan bahwa yang pertama-tama didengar keterangannya (di dalam sidang) adalah korban yang menjadi saksi.
Lalu, siapa saksi korban yang akan diperiksa di persidangan apabila korbannya sendiri (dalam hal ini Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait) ternyata tidak pernah membuat laporan atau pengaduan?
Sebagaimana telah Penulis uraikan bahwa LMK merupakan penerima kuasa untuk mengelola hak ekonomi Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait, yaitu terbatas hanya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti.
Tidak ada satupun ketentuan hukum yang menyatakan LMK juga menerima kuasa dari Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait untuk menempuh upaya hukum pidana terkait penaggaran UU Hak Cipta.
Apalagi dalam tindak pidana UU Hak Cipta (yang merupakan delik aduan) posisi korban tidak dapat diwakilkan pada saat membuat laporan atau pengaduan tersebut.
Penulis melihat kejanggalan berikutnya karena patut diduga LMK telah melampaui kewenangan atau kuasa yang diberikan kepadanya.
Padahal, Pasal 1797 KUHPerdata telah menentukan bahwa penerima kuasa tidak boleh melakukan apa pun yang melampaui kuasanya.
Baca juga: Perang Royalti di Era Musik Generatif AI
Mengingat LMK tidak memperoleh kuasa untuk membuat laporan/pengaduan (pidana) kepada Kepolisian, maka seharusnya sejak awal LMK dinyatakan tidak berwenang untuk membuat laporan/pengaduan tersebut.
Selain itu, patut diduga bahwa LMK telah “sengaja” membuat laporan atau pengaduan kepada pihak Kepolisian seolah-olah sebagai sarana “bargaining” agar pihak yang dilaporkan atau diadukan segera memenuhi kewajiban pembayaran royalti.
Hal ini semakin nyata terlihat sebagaimana sejumlah pemberitaan tentang adanya pembicaraan mengenai pembayaran ganti rugi oleh Mie Gacoan Bali.
Memang benar pembayaran ganti rugi (untuk tujuan keadilan restoratif/restorative justice) dapat dilakukan di Kepolisian.
Namun, apabila memang tujuan tersebut yang hendak dicapai, maka sepatutnya langkah hukum yang ditempuh bukan berupa laporan atau pengaduan ke Kepolisian, melainkan upaya hukum perdata berupa gugatan.
Di sinilah pentingnya peran Kepolisian untuk memberikan pemahaman dan memilah perkara yang patut untuk ditindaklanjuti secara pidana.
Tidak semua permasalahan hukum harus berujung dengan penyelesaian pidana. Apalagi sudah menjadi pengetahuan dasar bahwa penyelesaian secara pidana seharusnya merupakan langkah yang paling terakhir (ultimum remedium).
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini