Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Julianda Buang Manalu SH.MH
Pegawai Negeri Sipil

Menjabat sebagai Kepala Bagian Hukum dan Persidangan Sekretariat DPRD Kota Subulussalam, Aceh. Pendiri LSM Lembaga Advokasi Perempuan dan Anak Kota Subulussalam. Penulis Buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh". Aktif Menulis di Laman Kompasiana. Menulis di Kolom Opini Harian Serambi Indonesia (Aceh Tribun News).

Merevisi Paradigma Penyidikan: Dari Mencari Tersangka ke Menguji Dugaan

Kompas.com - 25/06/2025, 11:24 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Bila definisi hukum sendiri sudah memosisikan “menemukan tersangka” sebagai tujuan, bias ini menjadi semakin mengakar, mendorong proses penyidikan ke arah manipulasi pembuktian. Bahkan hingga penyiksaan untuk memaksa pengakuan, seperti dikhawatirkan banyak pengamat.

Menata ulang model penyidikan

Memindahkan paradigma penyidikan bukan sekadar menggulirkan redaksi normatif. Melainkan usulan revolusioner: menjadikan penyidikan sebagai “proses verifikasi awal.”

Artinya, penyidik wajib membuka ruang dua kemungkinan akhir: ada tindak pidana atau tidak ada. Dan jika tidak ditemukan unsur pidana, maka penyidikan harus diakhiri.

Hal ini sejalan dengan prinsip due process of law dan dunia modern yang menegaskan bahwa seseorang tidak boleh diperlakukan sebagai tersangka sebelum proses verifikasi lengkap—menegakkan hak asasi dan keadilan substantif, bukan hanya prosedural semata.

Chairul Huda menolak paradigma lama yang memaksakan penetapan tersangka sebagai tolok ukur keberhasilan penyidikan.

Ia menegaskan bahwa penyidikan harus berakhir dengan salah satu tiga kemungkinan: penetapan tersangka dengan bukti cukup; penghentian karena bukan tindak pidana; atau penghentian karena bukti tidak cukup.

Jika paradigma ini disepakati, maka definisi KUHAP harus diperluas dan distandarisasi agar mengakomodasi semua kemungkinan tersebut.

Visi ini bukan sekadar wacana akademik, tetapi bisa menjadi pijakan dalam perubahan kelembagaan.

Secara konkret, revisi definisi dapat diikuti dengan evaluasi kinerja yang baru: bukan lagi berdasarkan banyaknya tersangka, melainkan akurasi verifikasi.

Unit audit independen bisa didirikan untuk memastikan penyidikan dilakukan dengan pendekatan ilmiah, penuh objekivitas.

Lebih jauh, perlu disusun pula mekanisme pra-adjudikasi, semacam forum independen untuk menilai kualitas bukti awal sebelum proses dilanjutkan.

Ini bermanfaat untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan menegakkan hukum dan melindungi individu dari kriminalisasi semata-mata berdasarkan dugaan awal.

Budaya hukum di Indonesia telah lama dipengaruhi oleh budaya hasil kuantitatif: target penyelesaian kasus, angka tersangka, indikator penyidikan yang sama sekali tidak berbasis kualitas.

Baca juga: Aparat Penegak Hukum Diminta Tak Saling Intervensi dalam Proses Revisi KUHAP

Untuk mengubah paradigma ini, semua lapisan harus direformasi: kelembagaan, sistem pelatihan, dan tentu aturan hukum.

Draf RUU KUHAP perlu memuat frasa “penyidikan boleh berakhir tanpa penetapan tersangka” dan menekankan bahwa kategori tersangka tak lagi otomatis melekat pada setiap orang yang diperiksa. Pembaruan ini juga berarti menyusun ulang mekanisme penilaian kinerja aparat.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau