Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Julianda Buang Manalu SH.MH
Pegawai Negeri Sipil

Menjabat sebagai Kepala Bagian Hukum dan Persidangan Sekretariat DPRD Kota Subulussalam, Aceh. Pendiri LSM Lembaga Advokasi Perempuan dan Anak Kota Subulussalam. Penulis Buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh". Aktif Menulis di Laman Kompasiana. Menulis di Kolom Opini Harian Serambi Indonesia (Aceh Tribun News).

Merevisi Paradigma Penyidikan: Dari Mencari Tersangka ke Menguji Dugaan

Kompas.com - 25/06/2025, 11:24 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pelatihan aparat hukum pun harus diubah—dari yang berfokus pada target kuantitatif menjadi pemahaman epistemologis: mengenali bias konfirmasi, menghargai proses verifikasi bukti, memahami hak asasi pencari dan terdakwa, serta melaksanakan fungsi penyidikan seperti ilmuwan sosial yang teliti.

Selain itu, perlu dikuatkan pula sistem pengawasan—baik internal seperti Divisi Propam dan Kompolnas, maupun eksternal seperti Ombudsman dan Komisi Yudisial.

Dalam rapat di DPR pada Februari 2025, Komisi Yudisial menekankan urgensi mekanisme pengawasan terhadap penyidikan, sebab “penyalahgunaan wewenang bisa terjadi sejak penyidikan.”

Kehadiran forum pengawas ini akan menjadi jaminan bahwa aparat tak bisa lagi leluasa membentuk penyidikan selektif dan represif.

Perubahan definisi penyidikan yang diusung oleh Chairul Huda adalah langkah minimal, tetapi sangat esensial untuk menciptakan hukum pidana yang adil dan manusiawi di Indonesia.

Jika tidak, maka penyidikan akan tetap menjadi alat kriminalisasi yang rawan disalahgunakan, bukan instrumen pencarian kebenaran.

Era keadilan baru menuntut paradigma baru—di mana setiap tindakan penegakan hukum diawali dengan netralitas epistemologis, bukan tujuan semata.

Mengubah definisi KUHAP bukan sekadar mengganti istilah, melainkan merevolusi mentalitas aparat, budaya institusi, serta citra hukum di mata masyarakat.

Jika RUU KUHAP dilengkapi dengan redaksi yang menekankan netralitas dan proses verifikasi, serta diikuti penataan indikator kinerja dan pengawasan, maka penyidikan bisa menjadi penggerak keadilan, bukan tameng kekuasaan.

Oleh karena itu, saatnya DPR dan pemerintah mengambil langkah berani: menjadikan epistemologi hukum sebagai fondasi reformasi KUHAP. Jika tidak, maka nasib penyidikan akan terus serupa sore tanpa petang: tampaknya selesai, namun keadilan sejati tidak tiba.

Semoga semangat hukum progresif ini menjadi inspirasi bagi para pembuat kebijakan, penegak hukum, dan seluruh masyarakat untuk bersama-sama membangun sistem peradilan yang lebih adil, terbuka, dan beradab.

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau