DOHA kembali menjadi titik pusat perhatian dunia. Insiden ledakan pada 9 September 2025, yang menewaskan sejumlah anggota Hamas dan seorang aparat keamanan Qatar segera memicu tudingan terhadap Israel dan mengguncang fondasi diplomasi kawasan.
Qatar selama ini dikenal sebagai mediator utama konflik Gaza, sekaligus sekutu penting Amerika Serikat yang menampung kepemimpinan politik Hamas atas permintaan Washington.
Ketika justru Doha yang menjadi sasaran, banyak pihak melihat bahwa yang terancam bukan hanya Palestina, melainkan juga norma paling dasar dalam hubungan internasional, yaitu kedaulatan negara dan imunitas diplomatik.
Dalam suasana ini, Konferensi Tingkat Tinggi Organisasi Kerja Sama Islam atau OKI yang digelar di Doha pada 15–16 September 2025, menjadi forum yang sarat beban.
Bukan sekadar ritual tahunan, melainkan ajang untuk menentukan apakah dunia Islam masih sanggup mengubah kecaman menjadi konsekuensi.
Draf resolusi yang beredar menegaskan bahwa tindakan Israel “mengancam perdamaian dan koeksistensi” serta “dapat menggagalkan seluruh capaian normalisasi hubungan dengan negara-negara Arab.”
Pernyataan ini menunjukkan pergeseran penting, karena untuk pertama kalinya normalisasi yang dipuji sebagai jalan pragmatis kini secara terbuka dipertaruhkan.
Normalisasi melalui "Abraham Accords" sejak 2020 memang semula digadang sebagai terobosan besar.
Baca juga: Makna Diplomasi Singkat Presiden Prabowo ke Timur Tengah
Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko, dan Sudan membuka hubungan resmi dengan Israel dengan janji keuntungan ekonomi, teknologi, dan keamanan.
Namun, asumsi dasar normalisasi adalah bahwa Israel akan menahan diri dari langkah yang terlalu ekstrem, sementara negara-negara Arab bisa menenangkan resistensi internal dengan menampilkan manfaat praktis. Insiden di Doha menghancurkan ilusi itu.
Reuters melaporkan bahwa UEA memanggil wakil duta besar Israel dan menyebut tindakan tersebut sebagai “langkah bermusuhan”.
Sementara Arab Saudi menegaskan kembali bahwa syarat hubungan diplomatik tetaplah kemerdekaan Palestina.
Dua sikap ini menandai goyahnya fondasi kompromi yang sebelumnya diusung Washington.
Dari sisi Qatar, pernyataan Emir Sheikh Tamim bin Hamad Al-Thani dan Menteri Luar Negeri Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani sangat tegas.
Mereka menyebut serangan itu sebagai “terorisme negara” dan menuntut komunitas internasional berhenti menerapkan standar ganda.
“Sudah saatnya Israel dihukum atas semua kejahatan yang dilakukan,” kata Sheikh Mohammed sebagaimana dikutip Al Jazeera.
Yang menarik, ia juga menegaskan Qatar tidak akan meninggalkan peran sebagai mediator meskipun menjadi korban.
Sikap ini menunjukkan paradoks khas Doha yang tetap membuka ruang negosiasi sambil menuntut konsekuensi atas pelanggaran norma.
Kehadiran para pemimpin kawasan memberi bobot simbolik pada KTT. Presiden Iran terpilih Masoud Pezeshkian hadir untuk menunjukkan garis tegas Teheran terhadap Israel.
Putra Mahkota sekaligus pemimpin de facto Arab Saudi Mohammed bin Salman berangkat ke Doha setelah sebelumnya sempat membuka wacana normalisasi.
Presiden Uni Emirat Arab Sheikh Mohamed bin Zayed yang dikenal sebagai arsitek "Abraham Accords" juga datang.