Aktivitas masyarakat tak luput dari kebutuhan akan kendaraan bermotor. Sebagian besar pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan dengan skema pembiayaan.
Dalam proses tersebut tentunya harus dibuat perjanjian pembiayaan sebagai dasar hubungan hukum. Dalam perjanjian tersebut, perusahaan pembiayaan berkedudukan selaku kreditur, sementara masyarakat pengguna fasilitas kredit berkedudukan sebagai debitur.
Namun demikian, dalam pelaksanaan perjanjian pembiayaan kerap berujung pada konflik. Di antaranya disebabkan ketidakmampuan debitur membayar angsuran yang telah disepakati.
Untuk mitigasi risiko, secara hukum dimungkinkan dilakukan pengalihan kewajiban pembayaran kepada pihak ketiga atau take over kredit.
Namun, praktik ini sering kali dilakukan tanpa persetujuan perusahaan pembiayaan. Pada akhirnya, sengketa antarpihak tidak dapat dihindarkan.
Lantas, apa saja bentuk risiko hukum yang timbul dari tindakan over kredit tanpa persetujuan dari perusahaan pembiayaan?
Perjanjian dan perusahaan pembiayaan
Perjanjian pembiayaan secara umum tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) atau Burgerlijk Wetboek.
Seperti perjanjian pada umumnya, perjanjian pembiayaan harus memenuhi syarat sah perjanjian yang diatur Pasal 1320 KUH Perdata, yakni kesepakatan para pihak, kecakapan untuk membuat perjanjian, suatu pokok persoalan tertentu, dan suatu sebab yang tidak terlarang.
Namun demikian, berkaitan dengan Industri Jasa Keuangan, terdapat aturan khusus yang mengatur tentang perusahaan pembiayaan. Hal ini di antaranya dapat ditemukan pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan (POJK No. 35 Tahun 2018).
Pada peraturan tersebut perusahaan pembiayaan didefinisikan sebagai badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan barang dan/atau jasa.
Kegiatan usaha perusahaan pembiayaan meliputi pembiayaan investasi, pembiayaan modal kerja, pembiayaan multiguna, dan/atau kegiatan usaha pembiayaan lain berdasarkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
Pada praktik pembiayaan kendaraan bermotor, umumnya yang digunakan adalah berbentuk pembiayaan multiguna. Salah satu skema yang digunakan dalam bentuk tersebut adalah pembelian dengan pembayaran angsuran.
Pada Pasal 1 angka 10 POJK No. 35 Tahun 2018 didefinisikan bahwa pembelian dengan pembayaran secara angsuran adalah kegiatan pembiayaan barang dan/atau jasa yang dibeli oleh debitur dari penyedia barang dan/atau jasa dengan pembayaran secara angsuran.
Dalam hal pembelian dengan pembayaran secara angsuran untuk pengadaan barang, kepemilikan objek pembiayaan dalam perjanjian beralih dari penyedia barang kepada Debitur. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 11 POJK No. 35 Tahun 2018.
Selain itu, diatur pula pada Pasal 34 ayat (2) POJK No. 35 Tahun 2018 bahwa dalam hal perusahaan pembiayaan melakukan pembiayaan untuk pengadaan kendaraan bermotor dengan cara pembelian dengan pembayaran secara angsuran, perjanjian pembiayaan wajib mencantumkan nilai uang muka.
Agunan/Jaminan Kredit
Hampir seluruh perjanjian kredit di dalamnya mencantumkan tentang keberadaan klausula agunan kredit. Hal ini dimaksudkan sebagai salah satu strategi mitigasi risiko bagi kreditur apabila terjadi tindakan ingkar janji oleh debitur.
Benda jaminan dimaksudkan untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang debitur apabila angsuran tidak dibayarkan sebagaimana mestinya.
Keberadaan agunan dalam perjanjian pembiayaan merujuk pada aturan pokok dalam Pasal 1131 KUH Perdata. Diatur bahwa segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu.
Pengaturan tentang agunan kredit dalam perjanjian pembiayaan di antaranya dapat ditemukan pada Pasal 34 ayat (1) huruf j POJK No. 35 Tahun 2018.
Pada ketentuan tersebut dinyatakan bahwa perjanjian pembiayaan wajib paling sedikit memuat agunan termasuk penyimpanan bukti kepemilikan atas agunan (jika ada).
Bentuk agunan dalam proses kredit kendaraan bermotor umumnya berupa jaminan fidusia. Bentuk jaminan ini secara khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU No. 42 Tahun 1999).
Pada Pasal 1 angka 2 UU No. 42 Tahun 1999 didefinisikan bahwa jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.
Jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Hal ini berarti bahwa dalam konteks perjanjian pembiayaan, maka jaminan fidusia merupakan perjanjian accesoir dari perjanjian pembiayaan.
Menurut UU No. 42 Tahun 1999, penerima fidusi dalam hal ini adalah perusahaan pembiayaan memiliki hak untuk didahulukan dalam proses pembayaran utang. Hal ini merujuk pada Pasal 27 UU No. 42 Tahun 1999, dimana ditegaskan bahwa penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditor lainnya.
Hak yang didahulukan adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Hak ini pun tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau likuidasi Pemberi Fidusia.
Over kredit tanpa persetujuan perusahaan pembiayaan
Dalam praktik over kredit kendaraan bermotor, umumnya yang terjadi adalah benda jaminan yang merupakan agunan perjanjian pembiayaan dialihkan oleh debitur kepada pihak lain.
Di sejumlah kasus, pengalihan objek dilakukan dengan skema jual beli atau gadai. Tindakan tersebut dilakukan tanpa sepengetahuan atau persetujuan dari perusahaan pembiayaan selaku kreditur.
Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat ketentuan yang relevan, yakni Pasal 23 UU No. 42 Tahun 1999.
Pada ketentuan tersebut diatur secara tegas bahwa pemberi fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia.
Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat diancam dengan pidana berdasarkan Pasal 36 UU No. 42 Tahun 1999. Ketentuan tersebut selengkapnya dapat dikutipkan sebagaimana berikut:
“Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).”
Ketentuan tersebut telah digunakan di sejumlah perkara berkaitan dengan pengalihan benda jaminan fidusia.
Salah satunya dapat dilihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Dompu Nomor 10/Pid.B/2016/PN.Dpu tanggal 01 Maret 2016. Terdakwa dihadapkan pada persidangan karena tindakannya melakukan over kredit kendaraan tanpa sepengetahuan lembaga pembiayaan.
Berdasarkan fakta di persidangan bahwa pada 10 Juni 2015, bertempat di Lingkungan Dorompana, Kelurahan Kandai I, Kecamatan Dompu, Kabupaten Dompu, Terdakwa melakukan over kredit sepeda motor kepada Taufik als Fikram tanpa seizin atau persetujuan secara tertulis dari PT. FIF Dompu sebagai penerima fidusia.
Terdakwa menawarkan over kredit sepeda motor kepada Taufik alias ikram. Nilai kesepakatan over kredit sepeda motor tersebut sebesar Rp 4 juta. Terdakwa melakukan over kredit kerena membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhannya.
Pada amar putusannya, majelis hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana mengalihkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia sebagaimana dakwaan kedua.
Majelis hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan dan denda sebesar Rp 1.000.000 dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan kurungan.
https://www.kompas.com/konsultasihukum/read/2024/10/16/060000380/over-kredit-kendaraan-tanpa-persetujuan-perusahaan-pembiayaan