Kupas tuntas dan jelas perkara hukum
Ajukan pertanyaan tanpa ragu di konsultasi hukum Kompas.com
Selain itu, diatur pula pada Pasal 34 ayat (2) POJK No. 35 Tahun 2018 bahwa dalam hal perusahaan pembiayaan melakukan pembiayaan untuk pengadaan kendaraan bermotor dengan cara pembelian dengan pembayaran secara angsuran, perjanjian pembiayaan wajib mencantumkan nilai uang muka.
Hampir seluruh perjanjian kredit di dalamnya mencantumkan tentang keberadaan klausula agunan kredit. Hal ini dimaksudkan sebagai salah satu strategi mitigasi risiko bagi kreditur apabila terjadi tindakan ingkar janji oleh debitur.
Benda jaminan dimaksudkan untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang debitur apabila angsuran tidak dibayarkan sebagaimana mestinya.
Keberadaan agunan dalam perjanjian pembiayaan merujuk pada aturan pokok dalam Pasal 1131 KUH Perdata. Diatur bahwa segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu.
Pengaturan tentang agunan kredit dalam perjanjian pembiayaan di antaranya dapat ditemukan pada Pasal 34 ayat (1) huruf j POJK No. 35 Tahun 2018.
Pada ketentuan tersebut dinyatakan bahwa perjanjian pembiayaan wajib paling sedikit memuat agunan termasuk penyimpanan bukti kepemilikan atas agunan (jika ada).
Bentuk agunan dalam proses kredit kendaraan bermotor umumnya berupa jaminan fidusia. Bentuk jaminan ini secara khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU No. 42 Tahun 1999).
Pada Pasal 1 angka 2 UU No. 42 Tahun 1999 didefinisikan bahwa jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.
Jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Hal ini berarti bahwa dalam konteks perjanjian pembiayaan, maka jaminan fidusia merupakan perjanjian accesoir dari perjanjian pembiayaan.
Menurut UU No. 42 Tahun 1999, penerima fidusi dalam hal ini adalah perusahaan pembiayaan memiliki hak untuk didahulukan dalam proses pembayaran utang. Hal ini merujuk pada Pasal 27 UU No. 42 Tahun 1999, dimana ditegaskan bahwa penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditor lainnya.
Hak yang didahulukan adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Hak ini pun tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau likuidasi Pemberi Fidusia.
Dalam praktik over kredit kendaraan bermotor, umumnya yang terjadi adalah benda jaminan yang merupakan agunan perjanjian pembiayaan dialihkan oleh debitur kepada pihak lain.
Di sejumlah kasus, pengalihan objek dilakukan dengan skema jual beli atau gadai. Tindakan tersebut dilakukan tanpa sepengetahuan atau persetujuan dari perusahaan pembiayaan selaku kreditur.
Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat ketentuan yang relevan, yakni Pasal 23 UU No. 42 Tahun 1999.
Pada ketentuan tersebut diatur secara tegas bahwa pemberi fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia.