"FIAT justitia ruat caelum", "Let justice be done, though the heavens fall" atau tegakkan keadilan walaupun langit runtuh.
Pepatah Latin yang popular ini menyoroti komitmen menegakkan keadilan dengan cara apa pun. Pengacara dan hakim menggunakan frasa ini untuk memperkuat gagasan bahwa keadilan harus ditegakkan secara tidak memihak dan tegas, terlepas dari konsekuensi yang mungkin terjadi.
Pepatah ini mencerminkan dedikasi yang teguh terhadap kebenaran dan keadilan.
Dan itulah yang dialami Rodrigo Roa Duterte. Pria 80 tahun yang pernah menjadi Presiden Filipina pada 2016 – 2022, akhirnya dicokok oleh International Criminal Court (ICC) alias Mahkamah Pidana Internasional yang berpusat di Den Haag, Belanda.
Penangkapannya sontak menghebohkan. Pasalnya, selama berdirinya ICC, tak ada satupun penguasa ataupun mantan penguasa negara selain Afrika yang menjadi pesakitan di ICC.
Semuanya adalah para pelanggar HAM kelas wahid dari negara-negara Afrika. Pun ketika ICC mendakwa pemimpin Israel Benyamin Netanyahu dan Yoav Gallant dan tiga petinggi HAMAS (ketiga-nya sudah gugur dibunuh Israel), tetap hingga kini belum sukses menangkap para tersangkanya.
Baca juga: Menangkap Netanyahu?
Sebenarnya, bukan hanya penjahat HAM dari negara-negara Afrika saja yang masuk dalam bidikan ICC.
Ada kurang lebih 17 situasi di 17 negara yang menjadi concern ICC, yakni the Democratic Republic of the Congo; Uganda; Darfur, Sudan; the Central African Republic I ; Kenya; Libya; Côte d'Ivoire; Mali; the Central African Republic II; Georgia; Burundi; Bangladesh/Myanmar; Afghanistan; Israel; the Philippines; Venezuela I; dan Ukraina ( www.icc-cpi.int).
Namun, kenyataannya palu hakim ICC dan taring jaksa penuntut umum ICC belum cukup sakti untuk dapat mengadili para penjahat HAM di luar negara-negara Afrika.
Walaupun sudah ada beberapa negara non-Afrika yang diinvestigasi seperti Bangladesh/ Myanmar, Afghanistan, Israel, Venezuela dan Ukraina. Kecuali Filipina setelah drama penangkapan Rodrigo Duterte.
Penangkapan Duterte melahirkan landmark history dalam sejarah ICC. Patut dicatat sebagai sejarah penting sejak berdirinya ICC, ada ex pemimpin negara di luar Afrika yang bisa ditangkap.
Namun di sisi lain sekaligus menimbulkan perdebatan hukum, yaitu apakah ICC cukup punya kewenangan untuk memproses hukum Duterte? Apakah ada unsur politis dalam penangkapan mantan Walikota Davao City selama 22 tahun ini?
Duterte ditangkap oleh otoritas Filipina sesuai dengan surat perintah penangkapan yang dikeluarkan oleh Kamar Praperadilan I (“Kamar”) atas tuduhan pembunuhan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pada 10 Februari 2025, Kantor Kejaksaan ICC (“Penuntutan”) mengajukan surat perintah penangkapan terhadap Duterte atas kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan, penyiksaan, dan pemerkosaan.
Majelis, yang terdiri dari Hakim Ketua Iulia Antoanella Motoc dan Hakim Reine Adélaïde Sophie Alapini-Gansou dan María del Socorro Flores Liera, menilai materi yang diajukan oleh jaksa penuntut dan menemukan alasan yang masuk akal untuk meyakini bahwa Duterte secara individu bertanggung jawab sebagai pelaku tidak langsung atas kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan, yang diduga dilakukan di Filipina antara 1 November 2011 dan 16 Maret 2019 (www.icc-cpi.int./ 12/03/2025).
Majelis menemukan bahwa ada serangan yang ditujukan terhadap penduduk sipil sesuai dengan kebijakan organisasi saat Duterte menjadi kepala Davao Death Squad (DDS), dan sesuai dengan kebijakan Negara saat ia menjadi Presiden Filipina.
Selain itu, ada alasan masuk akal untuk meyakini bahwa serangan ini meluas dan sistematis: serangan yang diduga terjadi selama beberapa tahun dan mengakibatkan ribuan kematian.
Dalam surat perintah penangkapan, majelis berfokus pada contoh insiden yang diduga untuk memudahkan analisisnya.
Baca juga: Antara Duterte dan Netanyahu
Mengenai dugaan peran Duterte sebagai kepala DDS dan selanjutnya sebagai Presiden Filipina, Kamar tersebut menemukan alasan yang masuk akal untuk meyakini bahwa ia, bersama-sama dengan dan melalui orang lain, setuju untuk membunuh orang-orang yang mereka identifikasi sebagai tersangka kriminal atau orang-orang yang memiliki kecenderungan kriminal, namun tidak terbatas pada pelaku narkoba, awalnya di Davao dan selanjutnya di seluruh negeri (www.icc-cpi.int./ 12/03/2025).
Sedangkan proses penangkapan Duterte bermula sejak 24 Mei 2021, ketika Kantor Kejaksaan ICC meminta otorisasi dari Kamar untuk memulai penyelidikan atas kejahatan yang diduga dilakukan di wilayah Filipina dalam konteks kampanye “perang melawan narkoba” yang dilancarkan oleh Pemerintah antara 1 November 2011 sampai 16 Maret 2019.
Pada 14 Juni 2021, permintaan Kejaksaan diumumkan ke publik. Pada 15 September 2021, Kamar mengizinkan penyelidikan tersebut.
Pada 18 Juli 2023, setelah permintaan penangguhan sementara dari otoritas Filipina dan penangguhan sementara kegiatan investigasi berikutnya, Kamar Banding ICC menyampaikan putusannya yang menegaskan keputusan Kamar yang memberikan otorisasi kepada Kejaksaan untuk melanjutkan penyelidikan terkait situasi di Philippines (www.icc-cpi.int./ 12/03/2025).
Filipina, Negara Pihak (state party) ICC sejak 1 November 2011, telah menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai penarikan diri dari Statuta tersebut pada 17 Maret 2018.
Berdasarkan pasal 127 Statuta, penarikan diri tersebut mulai berlaku pada 17 Maret 2019. Meskipun demikian, ICC mengklaim bahwa mereka tetap memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang diduga dilakukan di Filipina selama negara tersebut menjadi Negara Pihak pada Statuta tersebut.